Dunia sudah cukup sibuk dan ribut. Notifikasi bertalian datang; langganan kanal Youtube , kanal Telegram , grup-grup saling bersahutan, promo toko oranye dan hijau, dan pesan-pesan diskusi berkedok rindu. Mode senyap tak bisa membendung notifikasi itu, sebab ia makin nyaring dalam senyap. Karena itulah salah satunya, orang-orang memilih bersemedi dan mengucilkan diri dalam ruang kasatmata. Sebagian memilih untuk tenggelam dalam bacaan, sebagian lagi dalam perenungan, dan saya memilih manuskrip sebagai salah satu ma’bad , tempat ibadah intelektual saya. Setahun yang lalu, lebih kurang, saya masih asing dengan ilmu Tahqiq Makhtutat , filologi sebutan canggihnya. Jauh sebelum itu lagi, saya masih curiga dengan pekerjaan semacam itu. Apa soal orang-orang mau sibuk untuk membaca teks kuno yang – bahkan membuat mata kusam – kemudian disalin ulang, dipermak, hingga layak dibaca dengan mudah. Maksudnya, nikmatnya itu di mana? Lalu saya jatuh ke dalam ruang itu tanpa sengaja diajak oleh seorang...
Ibtida dari syukur ialah dapat melihat realitas dengan sebenar-benarnya. Puncaknya adalah penerimaan serta penggunaan nikmat secara utuh dan optimal. Ngomong soal syukur, bagi kita, terasa begitu basi kadang. Selain karena berjibun ajakan bersyukur yang begitu saja, juga kadang sementara pembaca menempatkan dirinya telah bersyukur, hingga bacaan tentang syukur hanyalah angin sepoi. Penulis diposisikan sebagai orang sudah lihai dalam bersyukur. Ah, handai taulan. Penglihatan yang benar-benar jelas terhadap realitas, bahwa apa yang dimiliki tidaklah benar-benar 'dimiliki', yang dimiliki sudah mencukupi kebutuhan, memiliki yang lebih merupakan tidak dibutuhkan, hal-hal demikian melahirkan kesadaran penuh bahwa apa dalam genggaman tidak lebih buruk dari orang lain. Pada kemudian, kesadaran itu mengantarkan pada penerimaan dan penggunaan apa yang dalam genggaman pada yang diciptakan untuknya dengan baik, utuh, dan tanpa cela. Hanya dengan begitulah ibadah syukur dapat tertunai denga...