Dunia sudah cukup sibuk dan ribut. Notifikasi bertalian datang; langganan kanal Youtube , kanal Telegram , grup-grup saling bersahutan, promo toko oranye dan hijau, dan pesan-pesan diskusi berkedok rindu. Mode senyap tak bisa membendung notifikasi itu, sebab ia makin nyaring dalam senyap. Karena itulah salah satunya, orang-orang memilih bersemedi dan mengucilkan diri dalam ruang kasatmata. Sebagian memilih untuk tenggelam dalam bacaan, sebagian lagi dalam perenungan, dan saya memilih manuskrip sebagai salah satu ma’bad , tempat ibadah intelektual saya. Setahun yang lalu, lebih kurang, saya masih asing dengan ilmu Tahqiq Makhtutat , filologi sebutan canggihnya. Jauh sebelum itu lagi, saya masih curiga dengan pekerjaan semacam itu. Apa soal orang-orang mau sibuk untuk membaca teks kuno yang – bahkan membuat mata kusam – kemudian disalin ulang, dipermak, hingga layak dibaca dengan mudah. Maksudnya, nikmatnya itu di mana? Lalu saya jatuh ke dalam ruang itu tanpa sengaja diajak oleh seorang...
Peci memiliki nilai sejarah yang kuat dan mengakar dalam lingkungan masyarakat pesantren. Bagi santri, peci lebih dari sekedar identitas. Peci adalah simbol kehormatan yang tak jarang melewati kehormatan serban, meski keduanya sama belaka dipakai pada anggota tubuh paling atas. Singkatnya, bagi santri, tanpa peci bukanlah santri. Kehormatan dan nilai pada peci berbanding terbalik dengan sandal. Benda yang dipakai pada bagian tubuh paling bawah itu sering kali dicap sebagai kebutuhan sekunder bagi santri, tidak seperti peci. Mereka hanya butuh alas kaki, bahkan tanpa merek sekalipun. Merek hanya akan menyebabkan sandal menjadi bulan-bulanan teman "panjang tangan", disengaja atau tidak. Maka sering nian dijumpai santri berpeci tanpa sandal, tidak sebaliknya. Tanpa alas kaki bukanlah aib sama sekali. Apa sebab? Selain jarak tempuh kaki seorang santri hanya dalam lingkungan pesantren, seluas apa pun pesantren, juga nir-alas kaki tidak ada yang memperhatikan. Artinya, ada tida...