Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Caping

Dunia Pengalihan: Manuskrip

Dunia sudah cukup sibuk dan ribut. Notifikasi bertalian datang; langganan kanal Youtube , kanal Telegram , grup-grup saling bersahutan, promo toko oranye dan hijau, dan pesan-pesan diskusi berkedok rindu. Mode senyap tak bisa membendung notifikasi itu, sebab ia makin nyaring dalam senyap. Karena itulah salah satunya, orang-orang memilih bersemedi dan mengucilkan diri dalam ruang kasatmata. Sebagian memilih untuk tenggelam dalam bacaan, sebagian lagi dalam perenungan, dan saya memilih manuskrip sebagai salah satu ma’bad , tempat ibadah intelektual saya. Setahun yang lalu, lebih kurang, saya masih asing dengan ilmu Tahqiq Makhtutat , filologi sebutan canggihnya. Jauh sebelum itu lagi, saya masih curiga dengan pekerjaan semacam itu. Apa soal orang-orang mau sibuk untuk membaca teks kuno yang – bahkan membuat mata kusam – kemudian disalin ulang, dipermak, hingga layak dibaca dengan mudah. Maksudnya, nikmatnya itu di mana? Lalu saya jatuh ke dalam ruang itu tanpa sengaja diajak oleh seorang...

Dunia Pengalihan: Manuskrip

Dunia sudah cukup sibuk dan ribut. Notifikasi bertalian datang; langganan kanal Youtube , kanal Telegram , grup-grup saling bersahutan, promo toko oranye dan hijau, dan pesan-pesan diskusi berkedok rindu. Mode senyap tak bisa membendung notifikasi itu, sebab ia makin nyaring dalam senyap. Karena itulah salah satunya, orang-orang memilih bersemedi dan mengucilkan diri dalam ruang kasatmata. Sebagian memilih untuk tenggelam dalam bacaan, sebagian lagi dalam perenungan, dan saya memilih manuskrip sebagai salah satu ma’bad , tempat ibadah intelektual saya. Setahun yang lalu, lebih kurang, saya masih asing dengan ilmu Tahqiq Makhtutat , filologi sebutan canggihnya. Jauh sebelum itu lagi, saya masih curiga dengan pekerjaan semacam itu. Apa soal orang-orang mau sibuk untuk membaca teks kuno yang – bahkan membuat mata kusam – kemudian disalin ulang, dipermak, hingga layak dibaca dengan mudah. Maksudnya, nikmatnya itu di mana? Lalu saya jatuh ke dalam ruang itu tanpa sengaja diajak oleh seorang...

Hibernasi Telah Selesai

Tak kurang 40 hari telah berlalu, menjadi tempo hibernasi bagi kalangan santri. Sebuah ruang waktu kekosongan mengaji yang akan selalu dihasrati oleh mereka. Jika masuk lebih dalam dan lebih jujur, hasrat mereka terhadap hibernasi telah melampaui dari batas normal bagi hakikat penuntut ilmu. Namun, apa boleh buat, begitu sudah tabiat dibentuk oleh lingkungan. Tentu ada banyak hal yang mereka khawatirkan dari habis masa aktif hibernasi; dirampok waktu gembira oleh belajar, ditilap kesempatan scrolling tiktok, dibabat keseruan berlaga para karakter nirnyata. Kekhawatiran itu biasanya akan muncul dalam bentuk, minimalnya, rasa mual dan pusing dalam perjalanan menuju ke Dayah; sebuah perjalanan yang begitu terasa cepat. Kekhawatiran itu dalam sejumlah babak malah diwujudkan dalam bentuk yang mereka lebih tahu. Bagi sebagian mereka, hibernasi tempo hari itu adalah tempo mematikan pikiran ilmiah, hingga tak lagi layak disebut hibernasi. Sebab, pada momen libur, mereka lebih memaknainya se...

Membongkar Kebiasaan Kita

Tulisan ini akan menjadi sangat penting bagi pembaca yang masih bergelut dengan dunia pendidikan dayah dan semacamnya yang menggunakan kitab turas (kuning) sebagai bahan ajar.      Saat masih menjadi santri--dalam arti status murid—saya sudah diwanti-wanti oleh guru privat saya untuk tidak berburu-buru dalam belajar (mengaji dan mengulang mandiri) kitab. Pun, ketika hendak berubah status menjadi “guru”, saya diwasiatkan untuk menyiapkan bahan ajar dengan benar, betapa pun bahan ajar itu sudah berulang kali diajarkan. Dan seiring waktu, dengan melihat pengalaman dan pengamalan orang lain, serta bacaan yang kian meluas sedikit demi sedikit, adalah apa yang disampaikan guru saya itu benar adanya.       Kebiasaan yang salah, siapapun pelakunya, tetaplah salah. Kita sepakat akan hal ini. Masalahnya adalah ketika kebiasaan-kebiasaan itu lambat laun akan mengakar dan dari alam bawah sadar akan tercipta keyakinan bahwa kebiasaan itulah satu-satunya jalan yang ...

Lelah Hingga Dalam Mimpi

Semalam saya ketiduran lebih awal dari biasanya. Sudah dua malam saya mengalami ketidaksengajaan tidur. Padahal, biasanya saya harus berdamai dengan otak untuk bisa terlelap. Biasanya, butuh waktu 15–20 menit untuk bisa terlelap. Tentu saya senang mengalami itu; tertidur tanpa harus berunding dengan pikiran. Namun, saya tidak senang sepenuhnya. Pasalnya, saya terbangun gara-gara bermimpi dua macam mimpi untuk dua malam itu; pertama , saya bermimpi hendak mempresentasikan proposal tesis saya. Dua hal yang membuat saya terbangun karenanya, yaitu saya panik akibat berkas PPT saya raib, dan puncaknya adalah pengujinya tak lain termasuk guru saya sendiri. Kedua , saya sedang men- tahqiq manuskrip kitab kuning. Proses penyalinan memang sudah beres. Tinggal tahap muqabalah (membandingkan hasil penyalinan dengan beberapa manuskrip). Nah, tahap muqabalah membuat saya kecapean yang terlalu. Saya merasa, kok tak kunjung selesai, serta, entah bagaimana, tata letak di Word tak beraturan. Saya ja...

Mempersunting Kemampuan Menyunting

Di Balik Buku Islam dan Logika Saya sudah lama menunggu hari ini. Hari yang menandakan saya telah menyelesaikan projek yang menguras banyak waktu; menyunting buku. Buku teman saya, Muhammad Zulfa, yang bertajuk Islam dan Logika per hari ini telah resmi dirilis dan sudah siap untuk dipra-pesan. Untuk memesannya, silakan hubungi  di sini.     Buku itu telah lama bersarang dalam file penyimpanan saya. Penulisnya, saban pekan atau bahkan bulan, mencicil tulisannya untuk kemudian menjadi sebuah buku. Penulis yang saya hadapi itu tidak seperti penulis yang sudah saya hadapi. Penulis kali ini mempunyai karakter keilmuan yang luas dan mendalam sekaligus dalam ilmu yang dikuasainya. Kalau boleh jujur, dalam buku yang dirilis itu, anda akan menemukan karakter penulis yang persis seperti di kehidupan sehari-hari; sulit mengerem saat berdiskusi dan ide-ide brilian sering meluap.     Kebetulan, buku yang dirilis itu bertema ilmu Mantik, salah satu ilmu yang dikuasai oleh pen...

Hari Memperingati Santri

     Setiap 22 Oktober, berseliweran selebaran Memperingati Hari Santri. Semboyan yang disematkan kali ini, " menyambung juang, merengkuh masa depan", seakan mengajak setiap insan yang bersifat dengan sifat santri untuk mengenal dirinya sendiri, lagi, serta terus menatap mantap ke depan dengan setiap usaha-usahanya dalam pengembaraan ilmu.      Berbetulan dengan memperingati hari santri, penulis ingin mengajak pembaca, khususnya santri, untuk kembali merenungi kembali titik kelemahan dan kekurangan kita, terutama sisi keilmuan, untuk kemudian diupayakan perbaikan-perbaikan yang optimal dan mendasar, baik dari sendiri atau lembaga tempat dinaunginya.  Sebelum itu, penulis adalah seorang yang bersifat santri dengan makna yang sudah masyhur. Dakwaan ini diperlukan agar semua dakwaan di depan nanti sesuai dengan pendakwa, dan tentunya dapat dipertanggungjawabkan oleh orang yang separuh besar hidupnya sudah dihabiskan dalam dunia santri. Biarkan saya m...

Ayah yang Bergairah, Untuk Murid yang Taufah

Gambar diambil pada 22 Mei 2022 Terhitung sejak September, dua bulan lebih yang lalu, Ayah di Balee kami menyebutnya, telah berumur 67 tahun. Tidak muda lagi sama sekali. Tujuh tahun beliau telah melewati umur galib, bahkan. Namun, semangatnya masih mampu meruntuhkan ranjau-ranjau dan aral melintang umur. Terhitung sudah sepekan penuh dan lebih dari sebelum tulisan ini ditulis, Ayah kembali mengajar seperti biasa, setelah lebih dari 2 pekan Ayah libur mengajar. Melihat umurnya yang sudah dikategorikan sebagai  syekh  rasanya bukanlah sebuah cela dan aib kalau saja Ayah berhenti atau setidaknya menjeda mengajar dalam beberapa waktu. Namun, tidak. Ayah belum lagi ingin berhenti; dari sejak diizinkan mengajar oleh gurunya, alm Abon Aziz, hingga kini, bahkan hingga malaikat menjemput.  Karakter dan semangat Ayah itu sebenarnya bukanlah hal yang ajaib bagi kalangan kaum sarungan di Aceh. Sebab, mereka paham dan yakin bahwa; sekali mengajar, maka sampai mati pun mengajar. Tak u...

Tembok Ratapan Ini Dinding Toilet

Tembok ratapan sisa dinding suci yang dibangun Raja Herodes di Yerusalem itu hanyalah tempat suci bagi orang Yahudi. Pada hari sakral, dinding itu diwajahi oleh tubuh-tubuh orang Yahudi. Ritual paling sakral di sana adalah peratapan dosa-dosa orang Yahudi. Mereka percaya, bekas dinding suci itu tidak hancur akibat bersemayamnya ruh Tuhan. Berapapun jumlah dosa diratapi, dinding itu masih sebagaimana adanya. Jauh dari Yerusalem, sebuah dinding telah mengambil tempat penting dalam peradaban manusia. Hingga juga, meski tidak semua, menjadi bukti timeline kehidupan sehari-hari. Dinding itu lebih dari sekedar tempat pengakuan dan pembuangan ‘dosa-dosa’. Ia bahkan seringnya menjelma beranda sosial media. Anda lihat sendiri beranda media sosial, semuanya tertumpah di sana. Apa saja ada. Sepuluh tangan pantas diangkat sebagai tabik bagi penemu toilet berdinding tembok. Pasalnya, bukan hanya di Jazirah Arab yang dulunya tak mengenal toilet berdinding—hingga persoalan BAB diatur demikian r...

Kenisbian Payah dan Mudah

  Seharusnya tidak ada yang benar-benar payah dalam hidup ini. Payah dan mudah hanya perkara kebiasaan atau tidak. Kepayahan sesuatu berbanding lurus dengan ketakbiasaan, sebaliknya begitu juga. Begitulah sunatullah berlaku pada hampir semua perkara. Memang ada sebagian hal yang dikatakan “sulit”, tetapi kesulitan ini bukan berarti tidak akan pernah mudah. Ia akan menjelma kemudahan ketika kebiasaan sudah berlaku nantinya. Penaklukan gunung tinggi bagi seseorang tidak akan benar-benar sulit ketika ia bersikukuh dan bersabar pada jalan terjal dan menukik tajam itu. Layaknya mencari ilmu (dalam hal ini mengkaji kitab kuning), semuanya hanya soal kebiasaan. Bagi pemula, tentulah memahami kitab panjang lebar tetap akan sulit. Selain karena tidak biasa, ia juga belum cukup kualifikasi untuk memahami. Maka, sebaliknya bagi orang-orang yang “nyaman” dengan tingkatan tinggi dalam beut-seumeubeut , tentulah menghafal dan mengusai matan-matan di kemudian hari yang seharusnya sudah lebi...

Kebaikan Itu Adalah Kita

 Sebagai manusia, kita diberi pilihan dalam hidup. Sebagai orang beriman, kita dianjurkan untuk lebih cenderung kepada dua sisi kehidupan yang tak pernah lekang; kebaikan dan keburukan. Tidak ada ketiga. Dalam fitrah yang paling dalam semua manusia, bukan hanya yang beriman, menghasrati kebaikan. Bedanya, cuma standar kebaikan itu. Bermula dari itulah segala aliran, ide, dan gagasan filsafat kehidupan bermuara. Mari beranjak dalam pandangan agama. Agama begitu menyarankan kita untuk melakukan kebaikan, sebab agama menuntut kita untuk percaya bahwa ada kehidupan lagi setelah yang satu ini. Artinya, kehidupan selanjutnya adalah pengadilan, penghukuman terhadap apa sudah dilakukan di kehidupan ini. Artinya lagi, kebaikan yang disarankan agama tidak hanya mewujudkan kebahagiaan di dunia, melainkan juga di akhirat. Kebaikan adalah sebuah nilai yang bergantung pada benda, tindakan dan segala sesuatu apapun yang bisa disifati dengan "baik". Maka kebaikan pada tindakan adalah sebuah ...

Usaha Berjabat Tangan Dengan Takdir Tuhan

  " Engkau tak 'kan kehilangan apa yang sudah dibagikan (baca: ditetapkan) bagimu ". Demikianlah kata paling meredakan bagi setiap kegelutan. Seamsal kalimat sihir, kalimat itu sering nian diingat-ingat oleh hamba yang sedang terjatuh, tertimpa musibah, hilang asa dan segala kondisi-kondisi negatif. Baginya, kalimat itu seakan mampu mengikhlaskan harapan yang tenggelam, meneguhkan hati yang patah, dan makin meyakinkan adanya Tuhan. Banyak kalimat-kalimat yang serumpun dengan kalimat itu. Misalnya, "tenang, Tuhan tidak akan memberikan apa yang sudah ditetapkan bukan bagianmu", atau "apa yang Tuhan takdirkan pasti akan begitu. Yakin saja lah". Dalam beberapa waktu, kalimat serupa itu sedikit banyak mampu meyakinkan kita bahwa takdir Tuhan itu absolut, pasti dan inevitable atau tak terelakkan. Meski juga, dalam berbagai kasus, kita cukup sulit mengamini kalimat itu. Sebenarnya, penolakan kalimat-kalimat serupa dapat dikatakan juga menolak penerimaa...

Peci Adidas dan Sandal Mukhlis

Peci memiliki nilai sejarah yang kuat dan mengakar dalam lingkungan masyarakat pesantren. Bagi santri, peci lebih dari sekedar identitas. Peci adalah simbol kehormatan yang tak jarang melewati kehormatan serban, meski keduanya sama belaka dipakai pada anggota tubuh paling atas. Singkatnya, bagi santri, tanpa peci bukanlah santri. Kehormatan dan nilai pada peci berbanding terbalik dengan sandal. Benda yang dipakai pada bagian tubuh paling bawah itu sering kali dicap sebagai kebutuhan sekunder bagi santri, tidak seperti peci. Mereka hanya butuh alas kaki, bahkan tanpa merek sekalipun. Merek hanya akan menyebabkan sandal menjadi bulan-bulanan teman "panjang tangan", disengaja atau tidak. Maka sering nian dijumpai santri berpeci tanpa sandal, tidak sebaliknya. Tanpa alas kaki bukanlah aib sama sekali. Apa sebab? Selain jarak tempuh kaki seorang santri hanya dalam lingkungan pesantren, seluas apa pun pesantren, juga nir-alas kaki tidak ada yang memperhatikan. Artinya, ada tida...

Busuk Tapi Bukan Bangkai

Secara spontan, dari paling belakang kedai kopi biasa saya duduki, saya mengendus bau begitu laknat. Memang dekat dengan wc meja kami, tapi saya haqqul yakin itu bukan bau buangan manusia. Apalagi binatang. Meski itu bangkai, saya duga itu bangkai syaitan. Tidak lama memang, tapi itu memacu membran otak saya untuk mengulik khazanah alam pikiran tentang bau busuk. Ini yang saya temukan: katakanlah ini cuma bau bangkai paling buruk. Setingkat itu saja mampu membuat makanan yang dirasa akan ditinggalkan. Pernah mendengar petuah bijak bestari “coba saja aib-aib manusia bisa dibaui mungkin sekali satu dengan lain akan saling menjauhi”.  Aha! Terhadap satu ini, saya berusaha membandingkan dengan bau busuk ya’juj ma’juj yang katanya bau mereka saat itu hanya bisa dihilangkan dengan hujan selama setahun(?). Saya kira, aib saya, anda, dia, kita dan mereka, andai bisa diabaui pasti lebih dari bau bangkai mereka.  Kita hanya sepasang kaki yang mondar-mandir sana kemari, yang dalam setia...

Mempertahankan Khitah Santri

Untuk mendapatkan otoritas berbicara soal agama di depan umum seseorang harus cukup mapan dalam keilmuan dan akhlak terpuji. Tentu belajar agama secara bertahap diperlukan untuk meng- goal -kan tujuan tersebut. Kini, tak terbendung lagi, setiap orang yang tahu cara main, yang mampu meraup sedemikian banyak “informasi” agama dibolehkan berceletuk sekenanya saja. Fakta ini terasa sangat kental di media sosial. Hanya beroleh “niat baik”, setiap soal agama yang diyakini benar dan perlu diketahui orang lain, dalam hitungan sepersekian detik diposting dan dibagikan. Adapun soal banyak meraup  like , pujian, komentar “masyaallah tabarakallah” itu boleh tidak ada. Asalkan gencar saja dulu. Di belahan bumi dunia maya lain, para santri yang konon katanya sebagai manusia terdidik, terpelajar dan beradab makin ke sini makin nampak telah “turun gunung”. Ya, sebagian mereka ada yang sudah memulai dan istiqamah dalam berbicara agama di hadapan khalayak ramai. Tindakan kaum sarungan ini tidak terl...