Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Curhatan

Dunia Pengalihan: Manuskrip

Dunia sudah cukup sibuk dan ribut. Notifikasi bertalian datang; langganan kanal Youtube , kanal Telegram , grup-grup saling bersahutan, promo toko oranye dan hijau, dan pesan-pesan diskusi berkedok rindu. Mode senyap tak bisa membendung notifikasi itu, sebab ia makin nyaring dalam senyap. Karena itulah salah satunya, orang-orang memilih bersemedi dan mengucilkan diri dalam ruang kasatmata. Sebagian memilih untuk tenggelam dalam bacaan, sebagian lagi dalam perenungan, dan saya memilih manuskrip sebagai salah satu ma’bad , tempat ibadah intelektual saya. Setahun yang lalu, lebih kurang, saya masih asing dengan ilmu Tahqiq Makhtutat , filologi sebutan canggihnya. Jauh sebelum itu lagi, saya masih curiga dengan pekerjaan semacam itu. Apa soal orang-orang mau sibuk untuk membaca teks kuno yang – bahkan membuat mata kusam – kemudian disalin ulang, dipermak, hingga layak dibaca dengan mudah. Maksudnya, nikmatnya itu di mana? Lalu saya jatuh ke dalam ruang itu tanpa sengaja diajak oleh seorang...

Ada Sesuatu Di Balik Nama Dalam Doa

Orang-orang bilang, tidak perlu menyatakan cinta, cukup sebut namanya dalam doa. Sebab Tuhan lebih mafhum perihal jodoh. Jadi, boleh jadi doa-doa itu mengubah apa yang sudah tertulis di ‘daun terjaga’, kalau memang yang tertulis di sana bukan nama yang disebut dalam doa. Atau, menahkikkan nama yang sudah tertulis. Sedangkan doa hanya usaha meyakinkan diri akan ketetapan itu. Sedangkan dia, sebalik itu pada awalnya. Dia tidak begitu setuju memuat nama seseorang dalam doa, sebagai permintaan, pernyataan, dan peneguhan harapan jodoh. Apalagi penyebutan itu disebut-sebut pada bukan waktunya. Permintaan pada bukan waktunya, menurutnya, hanya sebagai alibi menyegerakan takdir.  Kalau sudah cinta, ya sampaikanlah cinta itu, tapi dengan syarat cukup cinta saja. Tidak lebih. Tidak diaduk dengan hasrat memiliki. Artinya tidak menginginkan dan menghendaki hal-hal di luar cinta, seperti harapan bersatu dan menyegerakan memiliki.  Cinta begitu sederhana, kita saja yang membuatnya merepotka...

Tuyul-tuyul Soleh dan Melodius Tangis

Di balik perkara yang tak disukai, tetapi tetap mesti dilakukan, seringkali meninggalkan jejak berkesan. Bermula dari keharusan memenuhi persyaratan pengajuan skripsi, salah satunya pelaksanaan Kerja Masyarakat. "Turun gunung" ke pesantren yang baru dilahirkan. Hingga, meninggalkan bekas kesan yang tidak boleh dibilang biasa saja. Dia bukan jenis orang yang gemar atau bahkan tertarik untuk berbicara atau bercanda dengan anak kecil yang berumur 6 tahun hingga sebelum baligh. Baginya, tak ada kesenangan berbicara dengan mereka. Yang ada hanyalah kerepotan. Repot mengulang kalimat. Repot mencari kata yang bisa mereka paham. Dan, ya, repot saat berhadapan dengan watak kekanakan mereka. Seolah ia percaya ia sudah cukup dewasa untuk menganggap anak-anak itu tidak lebih dewasa darinya. Itu baru berbicara. Jangan tanya lagi soal mengajari mereka. Butuh kemapanan mental yang paripurna, kelembutan sempurna; lembut yang tak menyirnakan ketegasan, dan kecapakan menangani watak mereka. Ol...

Antara Kemalasan dan Buku Catatan

Adagium yang masyhur itu berbunyi " banyak jalan menuju Roma, tetapi kota Roma tidak dibangun dalam semalam ". Saya sengaja membuat adagium sendiri, untuk sendiri juga, itu berbunyi begini "banyak cara meraih kerajinan, tapi kerajinan tidak diciptakan dalam sehari". Maksudnya, kurang lebih sama. Jalan kaki, motor, hingga pesawat adalah 'jalan' menuju Roma, sebagaimana teori 5 second , bergerak cepat, manajemen waktu hingga mengulangi bacaan adalah cara meraih dan mengekalkan kerajinan. Bagi saya, semua cara itu dan cara lain yang tidak disebutkan tidak semua bekerja seharusnya. Ada kalanya kita mengalami trial-error  berkali-kali. Dan, itu normal belaka. Bayangkan saja kalau setiap usaha anda melulu berhasil, tentu anda tidak merasakan error , dan itu adalah kekurangan anda sebagai makhluk, saudara. Maka, setiap kali saya berusaha untuk rajin, prooduktif, atau berfaedah, saya berkali-kali gagal dan malah berujung di atas kasur pula.  Namun, memang beginilah ...

Insecure Tingkat Kayangan

Bukan hari ini pertama kalinya ia mengajar materi yang tidak begitu ia minati dan kuasai. Sejak mengasuh dua kelas tetap sekaligus, dalam waktu berbeda, mau tidak mau ia harus mengajar materi itu. Satu kelas masih bersandar pada kurikulum. Satunya lagi tergantung pada peserta didik. Keduanya harus dijelaskan materi dalam disiplin ilmu yang sama; tasawuf. Bukan permulaan juga dalam sehari ia mengajar materi disiplin ilmu yang sama dalam tiga sesi; pagi, siang, dan malam. Seperti pengajar lainnya, memang ia hanya berperan menjelaskan teks materi agar dapat dipahami maksud penyusun teks, agar materi itu—harapannya—dapat diserap semaksimal mungkin. Namun, ini materi tasawuf. Banyak pengajar yang merasa insecure untuk mengajarkannya. Alasannya? Sederhana. Diri sendiri masih ‘jancuk’, kok mau mengajar orang lain soal membenarkan diri. Insecure ini barangkali akan senantiasa bersemayam dalam hatinya, bahkan hingga ia meminati disiplin ilmu itu. B arangkali . Kok bisa insecure ? Ya, bi...

Jangankan Pintar, Bodoh Saja Tidak Punya

Judul tulisan ini saya pinjam dari judul buku Alm Rusdi Mathari (Semoga Allah lapangkan kuburnya) yang bertajuk "Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya", yang sampai saat ini saya belum dikaruniaiNya untuk memiliki buku itu. Namun, hampir saban hari judul buku itu terngiang di membran otak saya.  Lalu, saya hendak mencoba mengulik lebih dalam makna dari penggalan tajuk itu. Dan itu menarik, setidaknya bagi saya. Tidak dapat disalahkan kalimat di atas saat kita memakai kacamata hakikat, ialah manusia tidak memiliki apa-apa, sama sekali. Tidak ada. Bahkan dirinya sendiri, meski bodoh sekalipun. Dalam pada ini, Tuhan yang bersifat Maha Murah lagi Sayang, menganugrahi satu jenis alat yang tidak kasatmata kepada manusia, dimana kegunaan agung lagi utama alat itu ialah mencari, menggali dan meneguk pengetahuan, serta menjadi wadah. Ya, itulah akal.  Dengannya manusia bisa meminjam pengetahuan-pengetahuan yang dititip oleh Tuha...

Jangan Menyawah Dengan Gigi

Untuk menerangi sikap orang yang suka bertanya “Dalilnya mana?” Masalah ini sudah lama terpenjara di pikiran saya. Tetapi saya tidak ingin buru-buru membahasnya, saya ingin mengeraminya lebih dulu agar ketika menetas dalam bentuk tulisan ia tidak akan koem. Sebagai muslim dan mukmin yang budiman tentunya dalam beragama kita telah lebih dahulu tahu menahu dan menyadari bahwa sesungguhnya dalam beragama kita membutuhkan ilmu yang memadai/fardhu ain. Tanpa itu kita akan buta, praktek keagamaan kita amburadul tak karuan. Sebab itu banyaklah dari kita umat muslim belajar agama, di samping selaras dengan kewajiban dan kewajaran. Ketika belajar agama ada sebagian kecil dari kita yang terus mendalami agama, menyelami mencari mutiara-mutiara ajaran. Sedangkan sisanya yang banyak mencukupi diri dengan ilmu seadanya untuk beramal. Sedangkan di sana ada juga manusia lain yang hanya mengetahui ajaran agama dengan mengikuti pengajian di satu majelis ta’lim ke majlis ta’lim lainnya. ...

Kalau Mudah Bukan Ilmu Namanya

Kadang-kadang ketika diri tak paham-paham apa yang dibaca, didengar dan dilihat saya merasa hampir putus asa. Atau, bisa-bisa ketika mendengar dan membaca hebat keilmuan seseorang saya merasa ingin menjadi seperti dia. Untuk kedua kadang-kadang itu belakangan ini padahal cukup kuat saya tolak kewujudannya. Setiap kala perasaan pesimis dan putus asa untuk memahami mampir saya bergegas mencampakinya jauh ke seberang lautan, saya gesitkan membuangnya ke tong sampah yang tak bisa didaur ulang. Bagaimana tidak? Saya kerap membangunkan diri saya bahwa memahami itu butuh waktu yang lama. Memahami apa saja butuh waktu. Lama atau tidak itu tergantung apa yang dipahami dan tekad yang bersemayam dalam hati. Memahami rasa si doi misalnya, itu butuh waktu yang tidak lama. Asal percaya dan mau dalam detik itu juga saya bisa memahami rasa dia kepada saya. Namun, saya menertawakan diri saya ketika memahami ilmu. Saya sudah tahu menahu bahwa ilmu itu butuh waktu yang lama untuk saya pah...

Dakwah Media Sosial: Disyukuri Atau Disesali?

Media sosial, dengan segenap manfaat dan mudharatnya, tetap menjadi kebutuhan kita. Ia menjelma makanan pokok dan air putih. Tanpanya kita merasa gerah dan lapar. Lebih dari itu, media dengan manfaatnya kadang menjadi manfaat yang sebenar-benarnya manfaat. Atau kadang celaka, menjadi mudharat yang tersampul dengan manfaat. Sebagian yang saya pikir media menjelma manfaat sebentar ialah dakwah melalui media. Sebab, diakui atau tidak, betapa perkara yang nampak baik di mata manusia tapi berimbas buruk, pun begitu sebaliknya. Kita tidak mencekal dakwah lewat media, malah kita harus bersyukur. Kita tidak melarang adanya dakwah lewat media, justru itulah jalan yang harus ditempuh di ini masa. Dengan wujudnya, banyak nian orang yang berubah, berubah dari buruk menjadi baik tentunya. Namun, butuh kehati-hatian yang luar biasa dalam berdakwah di media.  Sekian membludak akun-akun yang agamis, betapa banyak orang-orang yang menyeru ke jalan Tuhan. Melimpahnya akun ini tidak terbebas...

Surel Kepada Baginda

Selamat malam, Baginda. Baginda apa kabar? Semoga senantiasa Allah limpahkan salawat dan salam kepadamu, Baginda. Malam ini, katanya, malam yang lebih kau cintai dari pada malam-malam yang lain. Katanya, malam ini engkau duduk bersahaja, menunggu umatmu mengungkapkan cintanya yang bertalu-talu kepadamu. Katanya juga, malam ini engkau begitu menyintai umatmu yang ikhlas bersalawat kepadamu. Pun, katanya, sesiapa yang mengucapkan shalawat kepadamu sekali maka ia berhak mendapat balasan sepuluh kali. Berbahagialah mereka. Atas semua katanya itu, aku belum mampu, Baginda.  Atas semua katanya itu dan yang lain, aku belum mencintaimu sepenuhnya, Baginda. Apatah makna cintaku padamu ini, Ya Baginda. Padahal aku hanya mampu mencemburui umatmu yang nyata tak tersangkal cintanya padamu. Apatah guna ungkapan cintaku padamu yang beriringan dengan mengkhianatimu. Sungguh, aku pencinta terbusuk. Untuk sekarang, aku hanya punya cemburu. Cukupkah itu, Ya Rasul?...