Dunia sudah cukup sibuk dan ribut. Notifikasi bertalian datang; langganan kanal Youtube, kanal Telegram, grup-grup saling bersahutan, promo toko oranye dan hijau, dan pesan-pesan diskusi berkedok rindu. Mode senyap tak bisa membendung notifikasi itu, sebab ia makin nyaring dalam senyap.
Karena itulah salah satunya, orang-orang memilih bersemedi dan mengucilkan diri dalam ruang kasatmata. Sebagian memilih untuk tenggelam dalam bacaan, sebagian lagi dalam perenungan, dan saya memilih manuskrip sebagai salah satu ma’bad, tempat ibadah intelektual saya.
Setahun yang lalu, lebih kurang, saya masih asing dengan ilmu Tahqiq Makhtutat, filologi sebutan canggihnya. Jauh sebelum itu lagi, saya masih curiga dengan pekerjaan semacam itu. Apa soal orang-orang mau sibuk untuk membaca teks kuno yang – bahkan membuat mata kusam – kemudian disalin ulang, dipermak, hingga layak dibaca dengan mudah. Maksudnya, nikmatnya itu di mana?
Lalu saya jatuh ke dalam ruang itu tanpa sengaja diajak oleh seorang mentor dan pelaku Tahqiq , dibarengi dengan rasa penasaran letak nikmatnya. Saya lebih dulu mencoba menulis ulang suatu kitab yang diterbitkan tahun 1908. Saya bertaruh menghabiskan waktu untuknya; apakah akan berhasil atau tidak, apakah nikmat atau tidak.
Taruhan itu saya mulai dengan memaksa diri untuk menulis kembali teks yang jelas dan tidak jelas terbaca itu. Melacak sumber yang dikutip di kitab-kitab yang begitu asing di kepala saya. Menguliti biografi sosok tokoh-tokoh yang disebutkan di kitab-kitab autobiografi yang PDFnya saja tidak tersedia. Tak jarang, sumber yang dikutip malah masih dalam bentuk manuskrip. Berganda jadinya kekusaman mata bertambah.
Sedang-sedang itu, saya sadar dan terpesona. Sadar bahwa usaha itu bernilai setidaknya bagi saya sendiri. Saya tersadarkan betapa ilmu-ilmu dalam naskah itu begitu banyak, relevan, dan tentunya mengenyangkan kebodohan saya.
Dan saya terpesona dengan setiap teks yang tak jelas kemudian jelas terbaca, terpesona dengan lezat dan nikmat ketika habis tenaga dikerahkan untuk melacak sumber, lalu snaaap, dapat. Rasanya tak tergambarkan.
Dari itu, saya beranjak ke manuskrip lain. Seakan saya menemukan dunia saya di situ, saya diterima dan saya menerimanya. Bahkan lebih dari itu, ketika persoalan dunia tak sanggup lagi ditanggung, otak terus multitasking, ketika perasaan kepadanya terus memuncak, masuk ke dalam manuskrip adalah pelarian saya. Barangkali, inilah dunia kedua saya. Kapan-kapan, kamu akan saya ajak untuk masuk ke sana, menjenguknya, dan berusaha membacanya bersama. Nanti.

Salam,boleh tanye2 kat whatshaap ?
BalasHapus