Tak kurang 40 hari telah berlalu, menjadi tempo hibernasi bagi kalangan santri. Sebuah ruang waktu kekosongan mengaji yang akan selalu dihasrati oleh mereka. Jika masuk lebih dalam dan lebih jujur, hasrat mereka terhadap hibernasi telah melampaui dari batas normal bagi hakikat penuntut ilmu. Namun, apa boleh buat, begitu sudah tabiat dibentuk oleh lingkungan.
Tentu ada banyak hal yang mereka khawatirkan dari habis masa aktif hibernasi; dirampok waktu gembira oleh belajar, ditilap kesempatan scrolling tiktok, dibabat keseruan berlaga para karakter nirnyata. Kekhawatiran itu biasanya akan muncul dalam bentuk, minimalnya, rasa mual dan pusing dalam perjalanan menuju ke Dayah; sebuah perjalanan yang begitu terasa cepat. Kekhawatiran itu dalam sejumlah babak malah diwujudkan dalam bentuk yang mereka lebih tahu.
Bagi sebagian mereka, hibernasi tempo hari itu adalah tempo mematikan pikiran ilmiah, hingga tak lagi layak disebut hibernasi. Sebab, pada momen libur, mereka lebih memaknainya sebagai pelarian ketimbang sebagai waktu interval yang mengharuskan mereka untuk tetap setia dengan ilmu. Alih-alih menyegarkan dan memberi jeda bagi pikiran dan hati, mereka sering (sengaja) membebani dua perangkat itu dengan sampah-sampah tak kasatmata.
Dan tentu saja, pemaknaan keliru itu tidak sepenuhnya salah mereka. Ada andil orang tua, dayah, dan lingkungannya dalam membentuk jiwanya untuk memaknai libur sedemikian rupa. Bisa dibayangkan jika tiga hal itu saling berkelindan; keluarga yang serba menitipkan anak ke dayah, guru yang tak tahu cara menunjukkan jalan kepada mereka sebab guru sendiri tak tahu jalan, dan lingkungan dayah yang terus menekan habis dengan aturan yang tak perlu, kontan libur dayah adalah seindah-indah pelarian.
Sementara sebagian dari mereka yang lain, sudi senantiasa menghidupkan hati dan kepala dengan ilmu. Mereka tidak lupa bahwa dalam masa interval pemanasan otak dan hati tetap dibutuhkan. Sehingga, akibat yang diraih sesampai di dayah dapat ditebak; yang satunya perlu direset balik total memori ilmu, atau bahkan kembali menjadi lebih bebal dari sebelumnya. Yang satunya lagi hanya tinggal dipantik semata, macam Sung Jin-woo membangkitkan bayangan.
Kini, waktu hibernasi telah selesai. Setidaknya, mereka punya dua tugas penting sebelum kembali lagi. Pertama, menjalin komunikasi dengan orang tua terkait “sampai apa mereka mengaji”, “untuk apa dia mengaji”, dan hal mendasar semacam itu.
Jika mereka sudah cukup dewasa, maka adalah suatu kebaikan jika mereka berani memulai komunikasi dan berikutnya berkomitmen. Jika belum, orang tualah yang harus memulainya. Wajib itu, sebab memasukkan anak di bawah umur ke dayah adalah keputusan yang harus didasari ilmu dan doa.
Kedua, sebagai lanjutan pertama, mereka harus mengatur strategi dan langkah apa yang harus mereka tempuh. Kalaupun masih abu-abu, mereka harus mencari “penunjuk jalan” di dayah. Di sinilah letak pentingnya peran guru utama dan guru privat (guree peuulang). Sebab, jika strategi dan langkah tak diatur, akibat konkretnya adalah salah jalan.
Terakhir, ketika mereka, santri dan terlebih guru, yang telah memutuskan untuk belajar lebih dari sekedar fardhu ain, mereka harus berani mencintai ilmu. Kalau-kalau mereka masih tidak cinta, mereka harus mengupayakannya dengan mencari-cari keindahan ilmu. Kalau-kalau lagi masih tak cinta, na’udzubillah, berdoa sendiri, minta doa guru dan orang tua agar mereka mencintai ilmu adalah kunci terakhir. Sebab, kalau tak cinta, ilmu tak lagi bernilai meski sudah terlanjur soak dalam lingkungan ilmu. Sebab, kalau sudah cinta, tiap lembar kitab seakan berbicara, membisikkan hikmah yang memuaskan jiwa.
Begitu.

✨✨✨Luar Biasa
BalasHapusMaa syaa Allaah. Subhanallaah. Amazing
BalasHapus