Langsung ke konten utama

Dunia Pengalihan: Manuskrip

Dunia sudah cukup sibuk dan ribut. Notifikasi bertalian datang; langganan kanal Youtube , kanal Telegram , grup-grup saling bersahutan, promo toko oranye dan hijau, dan pesan-pesan diskusi berkedok rindu. Mode senyap tak bisa membendung notifikasi itu, sebab ia makin nyaring dalam senyap. Karena itulah salah satunya, orang-orang memilih bersemedi dan mengucilkan diri dalam ruang kasatmata. Sebagian memilih untuk tenggelam dalam bacaan, sebagian lagi dalam perenungan, dan saya memilih manuskrip sebagai salah satu ma’bad , tempat ibadah intelektual saya. Setahun yang lalu, lebih kurang, saya masih asing dengan ilmu Tahqiq Makhtutat , filologi sebutan canggihnya. Jauh sebelum itu lagi, saya masih curiga dengan pekerjaan semacam itu. Apa soal orang-orang mau sibuk untuk membaca teks kuno yang – bahkan membuat mata kusam – kemudian disalin ulang, dipermak, hingga layak dibaca dengan mudah. Maksudnya, nikmatnya itu di mana? Lalu saya jatuh ke dalam ruang itu tanpa sengaja diajak oleh seorang...

Membongkar Kebiasaan Kita

Tulisan ini akan menjadi sangat penting bagi pembaca yang masih bergelut dengan dunia pendidikan dayah dan semacamnya yang menggunakan kitab turas (kuning) sebagai bahan ajar.

    Saat masih menjadi santri--dalam arti status murid—saya sudah diwanti-wanti oleh guru privat saya untuk tidak berburu-buru dalam belajar (mengaji dan mengulang mandiri) kitab. Pun, ketika hendak berubah status menjadi “guru”, saya diwasiatkan untuk menyiapkan bahan ajar dengan benar, betapa pun bahan ajar itu sudah berulang kali diajarkan. Dan seiring waktu, dengan melihat pengalaman dan pengamalan orang lain, serta bacaan yang kian meluas sedikit demi sedikit, adalah apa yang disampaikan guru saya itu benar adanya. 

    Kebiasaan yang salah, siapapun pelakunya, tetaplah salah. Kita sepakat akan hal ini. Masalahnya adalah ketika kebiasaan-kebiasaan itu lambat laun akan mengakar dan dari alam bawah sadar akan tercipta keyakinan bahwa kebiasaan itulah satu-satunya jalan yang boleh ditempuh, selain kebiasaan itu keliru belaka, atau minimalnya, tidak pantas didahulukan sesuatu yang lain ketimbang kebiasaan itu.

    Setidaknya, ada dua kebiasaan yang salah dalam dunia pendidikan Dayah dewasa ini yang ingin saya sorot. Tentu, kebiasaan yang salah itu tidak melulu mutlak salah. Artinya, kebiasaan yang salah itu, pada beberapa waktu dan kasus, bisa berbalik menjadi benar dan tepat, meski seringnya juga salah. Karena itu, penyebutan ‘yang salah’ merujuk kepada banyaknya kebiasaan yang sering dijumpai

Pertama, soal menjadi pengajar. 

Diakui atau tidak, hanya sedikit jumlah dayah yang mau benar-benar mengangkat seseorang menjadi pengajar berdasarkan kualifikasi yang terukur—intelektual dan emosional. Adatnya, seseorang akan otomatis menjadi guru (baca; pengajar) dalam tanda kutip begitu memasuki tahun keenam, ketujuh, atau kedepalan tahun belajar. 

    Lantas, kebiasaan itu apa dampaknya? Dampak yang paling terasa—bagi orang yang mau merasakannya—adalah terbentuk keyakinan dari alam bawah sadar, bahwa; (1) menjadi pengajar itu mudah belaka; (2) menjadi pengajar tidak perlu bertanggung jawab atas bodohnya santri, dan (3) pengajar boleh “meukaleuh” dalam mengajar tanpa perlu memerhatikan metode ajar.

    Mau disangkal atau tidak, hanya sedikit saja tersisa guru yang mau menyiapkan bahan ajar secara komprehensif untuk mengajar. Pengajar sudah terlalu dibiasakan dengan menyiapkan bahan ajar ala kadar; harkat dan makna, lalu penjelasan seadanya. Padahal, persiapan di sini tidak boleh hanya ditafsirkan sebagai usaha memahami surah atau penjelasan yang akan disampai nanti di kelas. Kalau hanya itu, tak usah Anda menjadi pengajar, murid pun kalau dibekali dengan persiapan itu juga bisa mengajar. 

    Syukur-syukur kalau diberikan perbekalan dan pelatihan menjadi guru oleh lembaga. Pasalnya, kita sebagai pengajar sudah terlanjur setuju mendakwa diri sebagai pengajar, tetapi tidak mau mengikuti sepenuhnya langkah mengajar yang ditempuh oleh ulama pendahulu kita. Aneh betul. Padahal, kalau kita mau membaca, sedikit saja, kitab tentang mengajar atau adab-adab mengajar yang telah dicontohkan oleh ulama dulu, akan menyadarkan kita betapa buruk persiapan kita sebagai pengajar selama ini. Kita seperti takut dipergoki telah melakukan kejahatan membodohi murid dengan cara mulia.

    Celakanya lagi, kita sebagai pengajar malah menyeringai, ngomong tak jelas, penuh alibi ketika tiba menghadapi persoalan sulit di kelas. Ditambah tanpa malu mengharapkan keinsafan murid terhadap kita atas “kesibukan” hingga tak sempat menyiapkan bahan ajar yang memadai. 

    Tidak cukup itu, bekal ajar yang diduga persiapan itu seringnya tidak dibarengi oleh cara penyampaian dengan efisien. Kita terbiasa dan begitu sering pukul rata; peserta didik sama cerdiknya dengan kita, atau sama bodohnya sama kita, mereka sama saja seperti kita saat belajar dulu sehingga kalau kita paham saat dahulu belajar berarti mereka juga paham. Kita begitu sering melupakan metode ajar yang cocok dengan murid. Kita begitu takut mengubah metode ajar; takut dituduh teumeurka

    Bukan di sini tempatnya penjelasan bagaimana seharusnya pengajar menyiapkan bahan ajar dan bagaimana ia harus menyesuaikan bahan ajar dengan peserta didik. Sila dibuka kitab-kitab tentang adab-adab pengajar atau baca track record ulama pendahulu dalam mengajar. Tengok bagaimana mereka memperlakukan peserta didik mubtadi, mutawassith, dan muntahi. Mereka tidak serta merta menyuapkan “daging Wagyu”, betapapun lezatnya, bagi pemakan “ikan tongkol”; murid yang hanya boleh tahu pokok persoalan (ushul al-masail) dalam satu fan ilmu, tidak akan diberikan cabang-cabang persoalan, perdebatannya, dan perluasannya hingga menguasai pokok persoalan. 

    Makanya, jangan jadi pengajar meukalheuh begitu saja. Sadari bahwa ada kezaliman selama ini yang terus kita banggakan ketika melakukannya. Dan jangan jadi guru yang miskin pengetahuan, sebab dari guru yang tidak membaca apa-apa, akan lahir murid yang meuapam.

Kedua, soal cara bergaul dengan kitab bagi pemula dalam suatu fan ilmu.

Seumur-umur saya melihat santri yang mengaji kitab dalam suatu fan ilmu yang baru dimasukinya, jarang sekali saya temukan persamaan perlakuannya saat seperti ia mengaji pertama kali. Tengoklah santri baru itu, saat belajar mereka hanya dibolehkan menyimak pada kitab matan (teks dasar). Namun, hal itu tidak ditemukan pada santri kelas tiga dan empat yang baru belajar ilmu Mantik, Bayan, dan usul Fikih. Mereka dipaksa dan memaksa diri untuk mengikuti kebiasaan membaca dan menyimak syarah dan hasyiah. Tahu sendiri apa jadinya.

    Kebiasaan buruk yang sudah terlanjur dianggap normal ialah santri yang baru belajar ilmu Mantik menyimak dan mengulang matan Sulam serta digandeng dengan Hasyiah Qawaisuny sekaligus dalam keadaan belum paham pokok masalah dan istilah dalam matan Sulam. Sudah terlanjur dianggap benar kelakuan mengulang Hasyiah Nafahat ketika inti-inti masalah dan istilah dalam Matan Waraqat dan Syarah-nya masih abu-abu baginya. Itu saja dua contohnya.

    Apa dampaknya? Dampak yang paling kentara adalah mereka butuh waktu lama untuk menguasai suatu fan ilmu. Kenyataan lah yang menjelaskan itu. Tengoklah, saat mereka belajar kitab mutawassith dalam fan ilmu Mantik, misalnya, mereka masih tidak menguasai inti masalah dalam Mantik yang seharusnya sudah selesai pada tingkat mubtadi

    Kebiasaan itu membuat suatu fan ilmu yang kodratnya tidak butuh waktu begitu lama untuk dikuasai, malah membuat pelajar bingung dan bosan, hingga bahkan suatu ilmu menjelma hantu di siang bolong untuk dihindari, hanya gara-gara salah cara.

    Itulah dua kebiasaan salah dan buruk, yang keduanya saling berkaitan satu sama lain. Kebiasaan itu, bagaimanapun caranya, harus diubah. Atau, minimalnya disesuaikan. Di sana, masih banyak lagi kebiasaan buruk dan salah lainnya yang perlu diubah secepat mungkin kalau masih berharap penuh agama dan ilmunya pada pendidikan di Dayah. Kalau tidak, tunggu saja agama dan ilmunya diserong kanan-kiri oleh influencer tobat kemarin sore dan pemuda-pemudi hijrah kesiangan.


Komentar

  1. Para pengajar harus baca tulisan ini biar tidak termasuk dalam golongan pengajar yg meukaleuh

    BalasHapus
  2. Sangat bermanfaat guree

    BalasHapus
  3. terkadang kalo cuma dengan kitab dasarnya agak kurang faham,makanya perlu bahan yg lain lagi untuk lebih memahami

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul. Dan memahamkan yang agak kurang itu adalah tugas guru. Ia hanya perlu menjelaskan itu tanpa perlu mengajak murid yang mubtadi untuk terlibat dalam teks kitab lain atau syarah-hasyiahnya. Karena itulah guru harus menyiapkan bekal yang benar-benar memadai.

      Hapus
  4. Garang that gure 🔥🔥🔥

    BalasHapus
  5. Bodohnya seorang murid karna guru tidak memerhatikannya🫣

    BalasHapus
  6. Alfaqir Ibnu Ali El-Sawanji27 Februari 2025 pukul 19.30

    لا حول ولا قوة الا بالله العلي العظيم
    Benar adanya..
    Semoga bisa berobah dari kita sendiri dan mudah-mudahan bisa diikuti oleh saudara yang mau perubahan.

    Tulisan yang penuh hikmah

    BalasHapus
  7. Saya sangat setuju dengan gagasan tgk. Terus bagaimana solusi/langkah awal untuk merubah pola ini ... artinya bagaimana mengupgrade dewan guru yang mumpuni dengan keterbatasan Dayah hari ini

    BalasHapus
  8. اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّد وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

    BalasHapus
  9. Maasyaallah tabarakallah
    Semoga kita dan guru lainnya bisa berubah menjadi lebih baik.
    Btw, tulisannya makin ke sini, semakin enak di baca / mudah di pahami.
    Semangat terus dalam menulis ya! 💪🏻
    Salam literasi!!!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ayah yang Bergairah, Untuk Murid yang Taufah

Gambar diambil pada 22 Mei 2022 Terhitung sejak September, dua bulan lebih yang lalu, Ayah di Balee kami menyebutnya, telah berumur 67 tahun. Tidak muda lagi sama sekali. Tujuh tahun beliau telah melewati umur galib, bahkan. Namun, semangatnya masih mampu meruntuhkan ranjau-ranjau dan aral melintang umur. Terhitung sudah sepekan penuh dan lebih dari sebelum tulisan ini ditulis, Ayah kembali mengajar seperti biasa, setelah lebih dari 2 pekan Ayah libur mengajar. Melihat umurnya yang sudah dikategorikan sebagai  syekh  rasanya bukanlah sebuah cela dan aib kalau saja Ayah berhenti atau setidaknya menjeda mengajar dalam beberapa waktu. Namun, tidak. Ayah belum lagi ingin berhenti; dari sejak diizinkan mengajar oleh gurunya, alm Abon Aziz, hingga kini, bahkan hingga malaikat menjemput.  Karakter dan semangat Ayah itu sebenarnya bukanlah hal yang ajaib bagi kalangan kaum sarungan di Aceh. Sebab, mereka paham dan yakin bahwa; sekali mengajar, maka sampai mati pun mengajar. Tak u...

Hibernasi Telah Selesai

Tak kurang 40 hari telah berlalu, menjadi tempo hibernasi bagi kalangan santri. Sebuah ruang waktu kekosongan mengaji yang akan selalu dihasrati oleh mereka. Jika masuk lebih dalam dan lebih jujur, hasrat mereka terhadap hibernasi telah melampaui dari batas normal bagi hakikat penuntut ilmu. Namun, apa boleh buat, begitu sudah tabiat dibentuk oleh lingkungan. Tentu ada banyak hal yang mereka khawatirkan dari habis masa aktif hibernasi; dirampok waktu gembira oleh belajar, ditilap kesempatan scrolling tiktok, dibabat keseruan berlaga para karakter nirnyata. Kekhawatiran itu biasanya akan muncul dalam bentuk, minimalnya, rasa mual dan pusing dalam perjalanan menuju ke Dayah; sebuah perjalanan yang begitu terasa cepat. Kekhawatiran itu dalam sejumlah babak malah diwujudkan dalam bentuk yang mereka lebih tahu. Bagi sebagian mereka, hibernasi tempo hari itu adalah tempo mematikan pikiran ilmiah, hingga tak lagi layak disebut hibernasi. Sebab, pada momen libur, mereka lebih memaknainya se...