Dunia sudah cukup sibuk dan ribut. Notifikasi bertalian datang; langganan kanal Youtube , kanal Telegram , grup-grup saling bersahutan, promo toko oranye dan hijau, dan pesan-pesan diskusi berkedok rindu. Mode senyap tak bisa membendung notifikasi itu, sebab ia makin nyaring dalam senyap. Karena itulah salah satunya, orang-orang memilih bersemedi dan mengucilkan diri dalam ruang kasatmata. Sebagian memilih untuk tenggelam dalam bacaan, sebagian lagi dalam perenungan, dan saya memilih manuskrip sebagai salah satu ma’bad , tempat ibadah intelektual saya. Setahun yang lalu, lebih kurang, saya masih asing dengan ilmu Tahqiq Makhtutat , filologi sebutan canggihnya. Jauh sebelum itu lagi, saya masih curiga dengan pekerjaan semacam itu. Apa soal orang-orang mau sibuk untuk membaca teks kuno yang – bahkan membuat mata kusam – kemudian disalin ulang, dipermak, hingga layak dibaca dengan mudah. Maksudnya, nikmatnya itu di mana? Lalu saya jatuh ke dalam ruang itu tanpa sengaja diajak oleh seorang...
Untuk mendapatkan otoritas berbicara soal agama di depan umum seseorang harus cukup mapan dalam keilmuan dan akhlak terpuji. Tentu belajar agama secara bertahap diperlukan untuk meng-goal-kan tujuan tersebut.
Kini, tak terbendung lagi, setiap orang yang tahu cara main, yang mampu meraup sedemikian banyak “informasi” agama dibolehkan berceletuk sekenanya saja. Fakta ini terasa sangat kental di media sosial. Hanya beroleh “niat baik”, setiap soal agama yang diyakini benar dan perlu diketahui orang lain, dalam hitungan sepersekian detik diposting dan dibagikan. Adapun soal banyak meraup like, pujian, komentar “masyaallah tabarakallah” itu boleh tidak ada. Asalkan gencar saja dulu.
Di belahan bumi dunia maya lain, para santri yang konon katanya sebagai manusia terdidik, terpelajar dan beradab makin ke sini makin nampak telah “turun gunung”. Ya, sebagian mereka ada yang sudah memulai dan istiqamah dalam berbicara agama di hadapan khalayak ramai. Tindakan kaum sarungan ini tidak terlepas dari tragedi kesalahan memahami agama yang dibawa oleh orang yang seberang sana, di samping perlu mengepakkan sayap ajaran agama yang teduh, lurus dan konkrit.
Tindakan baik dan benar pada porsinya itu kini terasa meresahkan. Takut-takut, jati diri santri dikikis habis oleh aksi “turun gunung” itu. Salah satu khitah santri pada awalnya adalah mengawal turast agar tetap kompatibel dengan zaman dan anaknya.
Memang, kebijaksaan kita dalam memosisikan diri pada setiap sesuatu itu perlu agar tatanan alam terpelihara. Pun begitu menjadi santri. Memang seluruh kita tidak mampu menjaga khitah santri itu secara sempurna. Namun, kita masih bisa sadar akan diri sendiri hingga pada gilirannya bisa mengambil tugas dan posisi masing-masing. Tanpa demikian, kekhawatiran itu akan menjadi tragedi yang serasa kiamat bagi dunia santri.
Tabik,

Komentar
Posting Komentar