Peci memiliki nilai sejarah yang
kuat dan mengakar dalam lingkungan masyarakat pesantren. Bagi santri, peci lebih
dari sekedar identitas. Peci adalah simbol kehormatan yang tak jarang melewati
kehormatan serban, meski keduanya sama belaka dipakai pada anggota tubuh paling
atas. Singkatnya, bagi santri, tanpa peci bukanlah santri.
Kehormatan dan nilai pada peci
berbanding terbalik dengan sandal. Benda yang dipakai pada bagian tubuh paling
bawah itu sering kali dicap sebagai kebutuhan sekunder bagi santri, tidak
seperti peci. Mereka hanya butuh alas kaki, bahkan tanpa merek sekalipun. Merek
hanya akan menyebabkan sandal menjadi bulan-bulanan teman "panjang
tangan", disengaja atau tidak.
Maka sering nian dijumpai santri
berpeci tanpa sandal, tidak sebaliknya. Tanpa alas kaki bukanlah aib sama
sekali. Apa sebab? Selain jarak tempuh kaki seorang santri hanya dalam
lingkungan pesantren, seluas apa pun pesantren, juga nir-alas kaki tidak ada
yang memperhatikan. Artinya, ada tidaknya sandal tidak menjadi ukuran kesantrian
seorang santri. Bahkan, kealpaan sandal bagi santri sering menjadi berkah
tersendiri. Luput dari pemeriksaan haris, misalnya.
Nilai sebuah peci bagi santri tak
kan pudar dan lenyap, sungguhpun mereknya cuma "Mukhlis" atau "Washly"
yang harganya setara 2 gelas Thaitea ukuran besar. Sementara sandal, Adidas
sekalipun yang harganya tidak ngotak, akan tetap biasa-biasa saja.
Barangkali, sandal akan punya keberhargaan sama dengan peci ketika ia bermerek Washli. Satu lagi, sepanjang peci tidak bermerek Adidas, ia akan senantiasa dalam keberhargaan yang tertinggi.
Komentar
Posting Komentar