Dunia sudah cukup sibuk dan ribut. Notifikasi bertalian datang; langganan kanal Youtube , kanal Telegram , grup-grup saling bersahutan, promo toko oranye dan hijau, dan pesan-pesan diskusi berkedok rindu. Mode senyap tak bisa membendung notifikasi itu, sebab ia makin nyaring dalam senyap. Karena itulah salah satunya, orang-orang memilih bersemedi dan mengucilkan diri dalam ruang kasatmata. Sebagian memilih untuk tenggelam dalam bacaan, sebagian lagi dalam perenungan, dan saya memilih manuskrip sebagai salah satu ma’bad , tempat ibadah intelektual saya. Setahun yang lalu, lebih kurang, saya masih asing dengan ilmu Tahqiq Makhtutat , filologi sebutan canggihnya. Jauh sebelum itu lagi, saya masih curiga dengan pekerjaan semacam itu. Apa soal orang-orang mau sibuk untuk membaca teks kuno yang – bahkan membuat mata kusam – kemudian disalin ulang, dipermak, hingga layak dibaca dengan mudah. Maksudnya, nikmatnya itu di mana? Lalu saya jatuh ke dalam ruang itu tanpa sengaja diajak oleh seorang...
Sebagai manusia, kita diberi pilihan dalam hidup. Sebagai orang beriman, kita dianjurkan untuk lebih cenderung kepada dua sisi kehidupan yang tak pernah lekang; kebaikan dan keburukan. Tidak ada ketiga. Dalam fitrah yang paling dalam semua manusia, bukan hanya yang beriman, menghasrati kebaikan. Bedanya, cuma standar kebaikan itu. Bermula dari itulah segala aliran, ide, dan gagasan filsafat kehidupan bermuara. Mari beranjak dalam pandangan agama. Agama begitu menyarankan kita untuk melakukan kebaikan, sebab agama menuntut kita untuk percaya bahwa ada kehidupan lagi setelah yang satu ini. Artinya, kehidupan selanjutnya adalah pengadilan, penghukuman terhadap apa sudah dilakukan di kehidupan ini. Artinya lagi, kebaikan yang disarankan agama tidak hanya mewujudkan kebahagiaan di dunia, melainkan juga di akhirat. Kebaikan adalah sebuah nilai yang bergantung pada benda, tindakan dan segala sesuatu apapun yang bisa disifati dengan "baik". Maka kebaikan pada tindakan adalah sebuah ...