Langsung ke konten utama

Dunia Pengalihan: Manuskrip

Dunia sudah cukup sibuk dan ribut. Notifikasi bertalian datang; langganan kanal Youtube , kanal Telegram , grup-grup saling bersahutan, promo toko oranye dan hijau, dan pesan-pesan diskusi berkedok rindu. Mode senyap tak bisa membendung notifikasi itu, sebab ia makin nyaring dalam senyap. Karena itulah salah satunya, orang-orang memilih bersemedi dan mengucilkan diri dalam ruang kasatmata. Sebagian memilih untuk tenggelam dalam bacaan, sebagian lagi dalam perenungan, dan saya memilih manuskrip sebagai salah satu ma’bad , tempat ibadah intelektual saya. Setahun yang lalu, lebih kurang, saya masih asing dengan ilmu Tahqiq Makhtutat , filologi sebutan canggihnya. Jauh sebelum itu lagi, saya masih curiga dengan pekerjaan semacam itu. Apa soal orang-orang mau sibuk untuk membaca teks kuno yang – bahkan membuat mata kusam – kemudian disalin ulang, dipermak, hingga layak dibaca dengan mudah. Maksudnya, nikmatnya itu di mana? Lalu saya jatuh ke dalam ruang itu tanpa sengaja diajak oleh seorang...

Menulis Tidak Menulis

Malam ini saya memutuskan untuk tidak menulis. Sore harinya sudah punya tekad kuat untuk nulis dua tema yang sudah cukup lama berdialog dalam membran kepala. Ada saja aral baik yang melintang, tekad itu saya urungkan dulu. Meski tidak berhasil melahirkan dua tulisan "serius" itu, tetapi minimalnya saya sudah menulis keputusan saya untuk tidak menulisnya.

Pikir saya, besok insyaallah ada waktu luang untuk dua tema itu. Sebab kontennya sudah saya sekat, tinggal mengikat dan melapisinya dengan cat biar nampak lebih memikat. Namun, siapa berani memercayai hari esok akan tetap ada. Jangankan hari esok, hanya kata di depan ini saya tidak berani meyakini akan ada. Lihat, kan? Betapa rapuh manusia kalau ngomong soal masa depan.

Akan tetapi, saya sebagai muslim yang beriman penuh dengan takdir meyakini bahwa niat baik, betapapun sempat dicegat beberapa kali, juga akan terealisasi pada waktunya. Hanya soal waktu saja. Rasanya, niat baik lebih berkesempatan untuk dieksekusi ketimbang niat buruk. Apalagi bila mengingat bahwa niat baik yang terhalangi sudah dipadai dengan satu pahala. Bayangkan kalau niat baik itu terwujud, full pahalanya. Maka kemungkinan untuk wujud juga lebih besar.

Sementara itu, soal menulis yang baik-baik saya cukup berani mengatakan sedikit sekali dari niat baik menulis terhalangi dan pada kemudian juga belum nampak terwujud. Apa soalnya, saya pula tak tahu menahu. Padahal kalau dikalkulasikan, dalam satu hari saya mendapatkan pengetahuan (bukan sekedar informasi) katakanlah minimalnya 10 macam pengetahuan. 10 pengetahuan itu ada yang baru, ada yang berjenis pengulangan saja. Tetapi, 10 pengetahuan yang tidak melahirkan satu pun tulisan baik rasa-rasanya pengetahuan itu kurang berkah.

Pada kemudian saya sedikit tersadar, bahwa tidak setiap jumlah pengetahuan itu layak dan mampu saya bahasakan kembali. Ada pengetahuan yang memang lebih baik dibiarkan berserakan dalam ingatan, hingga kemudian bisa dirangkai dengan pengetahuan lainnya di kemudian hari. Ada juga pengetahuan yang belum mampu dibahasakan dengan baik, yang andai dicoba aksarakan mungkin besar akan kesalahan, berkali-kali. Bahwa menulis tentang tidak menulis adalah cara mengingat dan mengatasi penyesalan atas kealpaan menulis yang diinginkan.

Begitu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membongkar Kebiasaan Kita

Tulisan ini akan menjadi sangat penting bagi pembaca yang masih bergelut dengan dunia pendidikan dayah dan semacamnya yang menggunakan kitab turas (kuning) sebagai bahan ajar.      Saat masih menjadi santri--dalam arti status murid—saya sudah diwanti-wanti oleh guru privat saya untuk tidak berburu-buru dalam belajar (mengaji dan mengulang mandiri) kitab. Pun, ketika hendak berubah status menjadi “guru”, saya diwasiatkan untuk menyiapkan bahan ajar dengan benar, betapa pun bahan ajar itu sudah berulang kali diajarkan. Dan seiring waktu, dengan melihat pengalaman dan pengamalan orang lain, serta bacaan yang kian meluas sedikit demi sedikit, adalah apa yang disampaikan guru saya itu benar adanya.       Kebiasaan yang salah, siapapun pelakunya, tetaplah salah. Kita sepakat akan hal ini. Masalahnya adalah ketika kebiasaan-kebiasaan itu lambat laun akan mengakar dan dari alam bawah sadar akan tercipta keyakinan bahwa kebiasaan itulah satu-satunya jalan yang ...

Ayah yang Bergairah, Untuk Murid yang Taufah

Gambar diambil pada 22 Mei 2022 Terhitung sejak September, dua bulan lebih yang lalu, Ayah di Balee kami menyebutnya, telah berumur 67 tahun. Tidak muda lagi sama sekali. Tujuh tahun beliau telah melewati umur galib, bahkan. Namun, semangatnya masih mampu meruntuhkan ranjau-ranjau dan aral melintang umur. Terhitung sudah sepekan penuh dan lebih dari sebelum tulisan ini ditulis, Ayah kembali mengajar seperti biasa, setelah lebih dari 2 pekan Ayah libur mengajar. Melihat umurnya yang sudah dikategorikan sebagai  syekh  rasanya bukanlah sebuah cela dan aib kalau saja Ayah berhenti atau setidaknya menjeda mengajar dalam beberapa waktu. Namun, tidak. Ayah belum lagi ingin berhenti; dari sejak diizinkan mengajar oleh gurunya, alm Abon Aziz, hingga kini, bahkan hingga malaikat menjemput.  Karakter dan semangat Ayah itu sebenarnya bukanlah hal yang ajaib bagi kalangan kaum sarungan di Aceh. Sebab, mereka paham dan yakin bahwa; sekali mengajar, maka sampai mati pun mengajar. Tak u...

Hibernasi Telah Selesai

Tak kurang 40 hari telah berlalu, menjadi tempo hibernasi bagi kalangan santri. Sebuah ruang waktu kekosongan mengaji yang akan selalu dihasrati oleh mereka. Jika masuk lebih dalam dan lebih jujur, hasrat mereka terhadap hibernasi telah melampaui dari batas normal bagi hakikat penuntut ilmu. Namun, apa boleh buat, begitu sudah tabiat dibentuk oleh lingkungan. Tentu ada banyak hal yang mereka khawatirkan dari habis masa aktif hibernasi; dirampok waktu gembira oleh belajar, ditilap kesempatan scrolling tiktok, dibabat keseruan berlaga para karakter nirnyata. Kekhawatiran itu biasanya akan muncul dalam bentuk, minimalnya, rasa mual dan pusing dalam perjalanan menuju ke Dayah; sebuah perjalanan yang begitu terasa cepat. Kekhawatiran itu dalam sejumlah babak malah diwujudkan dalam bentuk yang mereka lebih tahu. Bagi sebagian mereka, hibernasi tempo hari itu adalah tempo mematikan pikiran ilmiah, hingga tak lagi layak disebut hibernasi. Sebab, pada momen libur, mereka lebih memaknainya se...