Dunia sudah cukup sibuk dan ribut. Notifikasi bertalian datang; langganan kanal Youtube , kanal Telegram , grup-grup saling bersahutan, promo toko oranye dan hijau, dan pesan-pesan diskusi berkedok rindu. Mode senyap tak bisa membendung notifikasi itu, sebab ia makin nyaring dalam senyap. Karena itulah salah satunya, orang-orang memilih bersemedi dan mengucilkan diri dalam ruang kasatmata. Sebagian memilih untuk tenggelam dalam bacaan, sebagian lagi dalam perenungan, dan saya memilih manuskrip sebagai salah satu ma’bad , tempat ibadah intelektual saya. Setahun yang lalu, lebih kurang, saya masih asing dengan ilmu Tahqiq Makhtutat , filologi sebutan canggihnya. Jauh sebelum itu lagi, saya masih curiga dengan pekerjaan semacam itu. Apa soal orang-orang mau sibuk untuk membaca teks kuno yang – bahkan membuat mata kusam – kemudian disalin ulang, dipermak, hingga layak dibaca dengan mudah. Maksudnya, nikmatnya itu di mana? Lalu saya jatuh ke dalam ruang itu tanpa sengaja diajak oleh seorang...
Waled Ummul Ayman dalam satu kesempatan sedang melayani tamu di sela-sela aktifitas membaca. Barangkali membaca tidak pernah benar-benar mudah. Bagi sebagian kita, sering kali ia menampakkan wajah yang melelahkan, membosankan. Padahal membaca adalah aktifitas yang tidak pernah benar-benar bisa ditinggalkan, mulai keluar dari rahim hingga malaikat maut menyambangi. Sementara itu, berawal dari kenyataan saya sebagai seorang santri , dalam perjalanan intelektual, pada satu ketika menyadari bahwa membaca itu lebih dari aktifitas biasa. Lebih dari membaca dunia. Bahkan bukan lagi sebagai profesi sekalipun, kalau ada. Awalnya pertanyaan “untuk apa membaca?”, “kenapa harus sering membaca?” berhasil membuat saya menghabiskan waktu menemukan jawabannya. Lebih ke belakang lagi, pertanyaan itu muncul saat guru saya tidak pasai menyuruh untuk mengulang dan membaca sendiri di kamar. Jawabannya saya peroleh kemudian, bahwa agar mengubah kegiatan membaca menjadi bagian diri kita sendiri. Karena m...