Di balik perkara yang tak disukai, tetapi tetap mesti dilakukan, seringkali meninggalkan jejak berkesan. Bermula dari keharusan memenuhi persyaratan pengajuan skripsi, salah satunya pelaksanaan Kerja Masyarakat. "Turun gunung" ke pesantren yang baru dilahirkan. Hingga, meninggalkan bekas kesan yang tidak boleh dibilang biasa saja.
Dia bukan jenis orang yang gemar atau bahkan tertarik untuk berbicara atau bercanda dengan anak kecil yang berumur 6 tahun hingga sebelum baligh. Baginya, tak ada kesenangan berbicara dengan mereka. Yang ada hanyalah kerepotan. Repot mengulang kalimat. Repot mencari kata yang bisa mereka paham. Dan, ya, repot saat berhadapan dengan watak kekanakan mereka. Seolah ia percaya ia sudah cukup dewasa untuk menganggap anak-anak itu tidak lebih dewasa darinya.
Itu baru berbicara. Jangan tanya lagi soal mengajari mereka. Butuh kemapanan mental yang paripurna, kelembutan sempurna; lembut yang tak menyirnakan ketegasan, dan kecapakan menangani watak mereka. Oleh sebab itu, hanya sedikit guru-guru yang tahu benar bagaimana mengajari dan mendidik anak-anak.
Nahas, dia ditugaskan untuk mengasuk anak-anak yang awalnya bak melihat segerombolan "tuyul" yang ingin soleh. Meski memang bukan saban hari, jelas hanya pada malam tertentu saja, tetapi berhadapan dengan kumpulan buyung yang super canggih itu tetaplah lebih berat ketimbang berhadapan dengan gadis manis yang ditaksir sekalipun.
Jelas bukan pilihan untuk mengasuh mereka walau hanya kena jatah sepekan 2-3 kali. Karenanya, tak jarang, dia dan sekutunya mencari 1000 jalan keluar dari tugas itu. Pahit tenggorokan akibat lenyap air liur, muka merah padam memendam marah, hingga gigi menginjak gigi lain menahan damprat, sudah mulai terhiasi bagi dirinya.
Baginya, mengajari orang lebih tua 10 kali lebih enteng ketimbang mengajari 1 anak. Boleh jadi, ia terlalu meninggikan dirinya hingga anak-anak tak sanggup meraih kata-kata dia, dan di saat yang sama malah mengerdilkan diri dengan sok-sokan bisa mengajari orang lebih tua. Mungkin karena kepayahan itu pula, mengajari 1 anak faedahnya lebih berjangka panjang ketimbang mengajari 10 orang lebih tua.
Saban kena jatah, perlahan, lambat sekali pemahaman dan kesabarannya mulai terbentuk, dan wujud dalam setiap tindakan dalam kelas saat bersama "tuyul" yang akan soleh itu. Seakan, culas, keras kepala dan lidah mereka sudah bukan apa-apa lagi. Hanya tinggal di sat-set was wis wos, keculasan mereka bisa diatasi dengan baik.
Seperti kata orang-orang, mereka hanyalah anak kecil, yang tak ubah macam kertas putih. Namun, sementara kumpulan buyung itu bak kertas putih yang terlampau dicoret oleh lingkungan keras. Perlu upaya lebih dalam mengasuh-mengasah mereka. Mereka sudah cukup canggih untuk disebut sebagai anak kecil. Namun sekali lagi, keterbukaan mereka dan kecenderungan mereka pada kesenangan yang baik sedikit banyak mengantarkan mereka kepada kesolehan-kesolehan yang mengakar, nantinya.
Begitulah. Sesungguhnya mengasuh sekelompok anak kecil tetap menjadi tantangan berarti bagi dirinya. Tak ada yang lebih besar tanggung jawab dan beban dalam dunia pendidikan melainkan mendidik anak kecil.
Kebermulaan dari keengganannya itu pada kemudian, bukan sebagai akhir, melahirkan kemauan untuk lebih berani mendekati dan mengilhami kebaikan kepada anak-anak kecil itu.
Pada akhirnya, setelah 6 bulan ber-fafifu dengan mereka ia harus meninggalkan mereka. Senang tak tergambarkan bersebab terbebas dari keharusan mengasuh "tuyul" soleh itu. Juga rasa sayang tak terperi karena terhenti membawa dan menggembleng mereka ke arah yang lebih baik. Keterpisahan itu bermelodius isak tangis diam-diam. Dan, kita tahu, sungguh tangis menyiratkan kesesakan mendalam.
👍🏻
BalasHapus