Langsung ke konten utama

Dunia Pengalihan: Manuskrip

Dunia sudah cukup sibuk dan ribut. Notifikasi bertalian datang; langganan kanal Youtube , kanal Telegram , grup-grup saling bersahutan, promo toko oranye dan hijau, dan pesan-pesan diskusi berkedok rindu. Mode senyap tak bisa membendung notifikasi itu, sebab ia makin nyaring dalam senyap. Karena itulah salah satunya, orang-orang memilih bersemedi dan mengucilkan diri dalam ruang kasatmata. Sebagian memilih untuk tenggelam dalam bacaan, sebagian lagi dalam perenungan, dan saya memilih manuskrip sebagai salah satu ma’bad , tempat ibadah intelektual saya. Setahun yang lalu, lebih kurang, saya masih asing dengan ilmu Tahqiq Makhtutat , filologi sebutan canggihnya. Jauh sebelum itu lagi, saya masih curiga dengan pekerjaan semacam itu. Apa soal orang-orang mau sibuk untuk membaca teks kuno yang – bahkan membuat mata kusam – kemudian disalin ulang, dipermak, hingga layak dibaca dengan mudah. Maksudnya, nikmatnya itu di mana? Lalu saya jatuh ke dalam ruang itu tanpa sengaja diajak oleh seorang...

Tuyul-tuyul Soleh dan Melodius Tangis



Di balik perkara yang tak disukai, tetapi tetap mesti dilakukan, seringkali meninggalkan jejak berkesan. Bermula dari keharusan memenuhi persyaratan pengajuan skripsi, salah satunya pelaksanaan Kerja Masyarakat. "Turun gunung" ke pesantren yang baru dilahirkan. Hingga, meninggalkan bekas kesan yang tidak boleh dibilang biasa saja.


Dia bukan jenis orang yang gemar atau bahkan tertarik untuk berbicara atau bercanda dengan anak kecil yang berumur 6 tahun hingga sebelum baligh. Baginya, tak ada kesenangan berbicara dengan mereka. Yang ada hanyalah kerepotan. Repot mengulang kalimat. Repot mencari kata yang bisa mereka paham. Dan, ya, repot saat berhadapan dengan watak kekanakan mereka. Seolah ia percaya ia sudah cukup dewasa untuk menganggap anak-anak itu tidak lebih dewasa darinya.

Itu baru berbicara. Jangan tanya lagi soal mengajari mereka. Butuh kemapanan mental yang paripurna, kelembutan sempurna; lembut yang tak menyirnakan ketegasan, dan kecapakan menangani watak mereka. Oleh sebab itu, hanya sedikit guru-guru yang tahu benar bagaimana mengajari dan mendidik anak-anak.

Nahas, dia ditugaskan untuk mengasuk anak-anak yang awalnya bak melihat segerombolan "tuyul" yang ingin soleh. Meski memang bukan saban hari, jelas hanya pada malam tertentu saja, tetapi berhadapan dengan kumpulan buyung yang super canggih itu tetaplah lebih berat ketimbang berhadapan dengan gadis manis yang ditaksir sekalipun.

Jelas bukan pilihan untuk mengasuh mereka walau hanya kena jatah sepekan 2-3 kali. Karenanya, tak jarang, dia dan sekutunya mencari 1000 jalan keluar dari tugas itu. Pahit tenggorokan akibat lenyap air liur, muka merah padam memendam marah, hingga gigi menginjak gigi lain menahan damprat, sudah mulai terhiasi bagi dirinya.

Baginya, mengajari orang lebih tua 10 kali lebih enteng ketimbang mengajari 1 anak. Boleh jadi, ia terlalu meninggikan dirinya hingga anak-anak tak sanggup meraih kata-kata dia, dan di saat yang sama malah mengerdilkan diri dengan sok-sokan bisa mengajari orang lebih tua. Mungkin karena kepayahan itu pula, mengajari 1 anak faedahnya lebih berjangka panjang ketimbang mengajari 10 orang lebih tua.

Saban kena jatah, perlahan, lambat sekali pemahaman dan kesabarannya mulai terbentuk, dan wujud dalam setiap tindakan dalam kelas saat bersama "tuyul" yang akan soleh itu. Seakan, culas, keras kepala dan lidah mereka sudah bukan apa-apa lagi. Hanya tinggal di sat-set was wis wos, keculasan mereka bisa diatasi dengan baik.

Seperti kata orang-orang, mereka hanyalah anak kecil, yang tak ubah macam kertas putih. Namun, sementara kumpulan buyung itu bak kertas putih yang terlampau dicoret oleh lingkungan keras. Perlu upaya lebih dalam mengasuh-mengasah mereka. Mereka sudah cukup canggih untuk disebut sebagai anak kecil. Namun sekali lagi, keterbukaan mereka dan kecenderungan mereka pada kesenangan yang baik sedikit banyak mengantarkan mereka kepada kesolehan-kesolehan yang mengakar, nantinya.

Begitulah. Sesungguhnya mengasuh sekelompok anak kecil tetap menjadi tantangan berarti bagi dirinya. Tak ada yang lebih besar tanggung jawab dan beban dalam dunia pendidikan melainkan mendidik anak kecil.

Kebermulaan dari keengganannya itu pada kemudian, bukan sebagai akhir, melahirkan kemauan untuk lebih berani mendekati dan mengilhami kebaikan kepada anak-anak kecil itu.

Pada akhirnya, setelah 6 bulan ber-fafifu dengan mereka ia harus meninggalkan mereka. Senang tak tergambarkan bersebab terbebas dari keharusan mengasuh "tuyul" soleh itu. Juga rasa sayang tak terperi karena terhenti membawa dan menggembleng mereka ke arah yang lebih baik. Keterpisahan itu bermelodius isak tangis diam-diam. Dan, kita tahu, sungguh tangis menyiratkan kesesakan mendalam. 


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membongkar Kebiasaan Kita

Tulisan ini akan menjadi sangat penting bagi pembaca yang masih bergelut dengan dunia pendidikan dayah dan semacamnya yang menggunakan kitab turas (kuning) sebagai bahan ajar.      Saat masih menjadi santri--dalam arti status murid—saya sudah diwanti-wanti oleh guru privat saya untuk tidak berburu-buru dalam belajar (mengaji dan mengulang mandiri) kitab. Pun, ketika hendak berubah status menjadi “guru”, saya diwasiatkan untuk menyiapkan bahan ajar dengan benar, betapa pun bahan ajar itu sudah berulang kali diajarkan. Dan seiring waktu, dengan melihat pengalaman dan pengamalan orang lain, serta bacaan yang kian meluas sedikit demi sedikit, adalah apa yang disampaikan guru saya itu benar adanya.       Kebiasaan yang salah, siapapun pelakunya, tetaplah salah. Kita sepakat akan hal ini. Masalahnya adalah ketika kebiasaan-kebiasaan itu lambat laun akan mengakar dan dari alam bawah sadar akan tercipta keyakinan bahwa kebiasaan itulah satu-satunya jalan yang ...

Ayah yang Bergairah, Untuk Murid yang Taufah

Gambar diambil pada 22 Mei 2022 Terhitung sejak September, dua bulan lebih yang lalu, Ayah di Balee kami menyebutnya, telah berumur 67 tahun. Tidak muda lagi sama sekali. Tujuh tahun beliau telah melewati umur galib, bahkan. Namun, semangatnya masih mampu meruntuhkan ranjau-ranjau dan aral melintang umur. Terhitung sudah sepekan penuh dan lebih dari sebelum tulisan ini ditulis, Ayah kembali mengajar seperti biasa, setelah lebih dari 2 pekan Ayah libur mengajar. Melihat umurnya yang sudah dikategorikan sebagai  syekh  rasanya bukanlah sebuah cela dan aib kalau saja Ayah berhenti atau setidaknya menjeda mengajar dalam beberapa waktu. Namun, tidak. Ayah belum lagi ingin berhenti; dari sejak diizinkan mengajar oleh gurunya, alm Abon Aziz, hingga kini, bahkan hingga malaikat menjemput.  Karakter dan semangat Ayah itu sebenarnya bukanlah hal yang ajaib bagi kalangan kaum sarungan di Aceh. Sebab, mereka paham dan yakin bahwa; sekali mengajar, maka sampai mati pun mengajar. Tak u...

Hibernasi Telah Selesai

Tak kurang 40 hari telah berlalu, menjadi tempo hibernasi bagi kalangan santri. Sebuah ruang waktu kekosongan mengaji yang akan selalu dihasrati oleh mereka. Jika masuk lebih dalam dan lebih jujur, hasrat mereka terhadap hibernasi telah melampaui dari batas normal bagi hakikat penuntut ilmu. Namun, apa boleh buat, begitu sudah tabiat dibentuk oleh lingkungan. Tentu ada banyak hal yang mereka khawatirkan dari habis masa aktif hibernasi; dirampok waktu gembira oleh belajar, ditilap kesempatan scrolling tiktok, dibabat keseruan berlaga para karakter nirnyata. Kekhawatiran itu biasanya akan muncul dalam bentuk, minimalnya, rasa mual dan pusing dalam perjalanan menuju ke Dayah; sebuah perjalanan yang begitu terasa cepat. Kekhawatiran itu dalam sejumlah babak malah diwujudkan dalam bentuk yang mereka lebih tahu. Bagi sebagian mereka, hibernasi tempo hari itu adalah tempo mematikan pikiran ilmiah, hingga tak lagi layak disebut hibernasi. Sebab, pada momen libur, mereka lebih memaknainya se...