Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2020

Dunia Pengalihan: Manuskrip

Dunia sudah cukup sibuk dan ribut. Notifikasi bertalian datang; langganan kanal Youtube , kanal Telegram , grup-grup saling bersahutan, promo toko oranye dan hijau, dan pesan-pesan diskusi berkedok rindu. Mode senyap tak bisa membendung notifikasi itu, sebab ia makin nyaring dalam senyap. Karena itulah salah satunya, orang-orang memilih bersemedi dan mengucilkan diri dalam ruang kasatmata. Sebagian memilih untuk tenggelam dalam bacaan, sebagian lagi dalam perenungan, dan saya memilih manuskrip sebagai salah satu ma’bad , tempat ibadah intelektual saya. Setahun yang lalu, lebih kurang, saya masih asing dengan ilmu Tahqiq Makhtutat , filologi sebutan canggihnya. Jauh sebelum itu lagi, saya masih curiga dengan pekerjaan semacam itu. Apa soal orang-orang mau sibuk untuk membaca teks kuno yang – bahkan membuat mata kusam – kemudian disalin ulang, dipermak, hingga layak dibaca dengan mudah. Maksudnya, nikmatnya itu di mana? Lalu saya jatuh ke dalam ruang itu tanpa sengaja diajak oleh seorang...

Rempeyek dan Hal yang Ditutupi

Banyak hal di dunia yang tidak melulu harus dibuka, ditebar, diedar. Memang, dengan membuka tulisan ini dengan kalimat itu dugaan sodara tidak kalah cepat dengan gigitan nyamuk jam 3 malam. Paling tidak, ada dua hal yang cepat diungkit oleh ingatan; pertama soal aib; kedua soal hati.   Tapi kali ini bukan soal keduanya, hasrat hati ingin bicara soal yang satu ini: Lapar di sepertiga malam merupakan cobaan yang menyiksa. Katakanlah anda dapat menemukan sesuatu yang layak dimakan di dapur sana. Itu jelas keterangan dan  ending nya. Apa jadinya bila di sana, atas meja makan, anda hanya menemukan satu baskom keripik. Rempeyek pula.  Haqqul yakin  saya, rempeyek tidak akan mampu mengenyangkan, layaknya indomie rebus. Apaboleh kerja, langsung saya buka itu baskom dan saya dipaksa menikmatinya, harap-harap menjadi pengganjal perut.   Kurang lebih 4 kali saya masukkan tangan ke dalam baskom. Seperti adat penjahat kue dan aneka makanan enak lain, saya, anda, dan kita aka...

Fardhu Kifayah vs Fardhu Kifayah: Kebimbangan Yang Hampir Usai

Sampai di sini belum lagi terang mana yang lebih didahulukan secara mutlak bagi penuntut ilmu; dakwah via media atau terus menjelajah khazanah kitab kuning yang tak lain itu adalah dunia mereka sendiri. Keduanya berstatus fardhu kifayah; pertama,  dakwah media sosial termasuk dalam  amr ma’ruf wa nahy mungkar , maka ia fardhu kifayah;  kedua,  penuntut ilmu yang sudah pada tahap pengajar(atau adatanya di pesantren aceh sudah di atas kelas 6) kiranya sudah terpenuhi ilmu-ilmu fardhu ain baginya. Maka melanjutkan petualangan dalam literatur kitab kuning adalah fardhu kifayah. Saya sendiri kadang bingung benar. Mana yang harus saya lakukan. Menyelami literatur klasik yang begitu seksi dan menggoda atau ‘dakwah’—biar dapat banyak like dan komen macam “Masyaallah Tabarakallah”. Jujur, belakangan saya bingung dan begitu gundah, macam ditinggalkan kekasih. Pasalnya, banyak ilmu lama yang harus diketahui sekarang yang akan membantu dalam menghadapi adegan dan kejadian dari ‘...

Busuk Tapi Bukan Bangkai

Secara spontan, dari paling belakang kedai kopi biasa saya duduki, saya mengendus bau begitu laknat. Memang dekat dengan wc meja kami, tapi saya haqqul yakin itu bukan bau buangan manusia. Apalagi binatang. Meski itu bangkai, saya duga itu bangkai syaitan. Tidak lama memang, tapi itu memacu membran otak saya untuk mengulik khazanah alam pikiran tentang bau busuk. Ini yang saya temukan: katakanlah ini cuma bau bangkai paling buruk. Setingkat itu saja mampu membuat makanan yang dirasa akan ditinggalkan. Pernah mendengar petuah bijak bestari “coba saja aib-aib manusia bisa dibaui mungkin sekali satu dengan lain akan saling menjauhi”.  Aha! Terhadap satu ini, saya berusaha membandingkan dengan bau busuk ya’juj ma’juj yang katanya bau mereka saat itu hanya bisa dihilangkan dengan hujan selama setahun(?). Saya kira, aib saya, anda, dia, kita dan mereka, andai bisa diabaui pasti lebih dari bau bangkai mereka.  Kita hanya sepasang kaki yang mondar-mandir sana kemari, yang dalam setia...

Mempertahankan Khitah Santri

Untuk mendapatkan otoritas berbicara soal agama di depan umum seseorang harus cukup mapan dalam keilmuan dan akhlak terpuji. Tentu belajar agama secara bertahap diperlukan untuk meng- goal -kan tujuan tersebut. Kini, tak terbendung lagi, setiap orang yang tahu cara main, yang mampu meraup sedemikian banyak “informasi” agama dibolehkan berceletuk sekenanya saja. Fakta ini terasa sangat kental di media sosial. Hanya beroleh “niat baik”, setiap soal agama yang diyakini benar dan perlu diketahui orang lain, dalam hitungan sepersekian detik diposting dan dibagikan. Adapun soal banyak meraup  like , pujian, komentar “masyaallah tabarakallah” itu boleh tidak ada. Asalkan gencar saja dulu. Di belahan bumi dunia maya lain, para santri yang konon katanya sebagai manusia terdidik, terpelajar dan beradab makin ke sini makin nampak telah “turun gunung”. Ya, sebagian mereka ada yang sudah memulai dan istiqamah dalam berbicara agama di hadapan khalayak ramai. Tindakan kaum sarungan ini tidak terl...