Dunia sudah cukup sibuk dan ribut. Notifikasi bertalian datang; langganan kanal Youtube , kanal Telegram , grup-grup saling bersahutan, promo toko oranye dan hijau, dan pesan-pesan diskusi berkedok rindu. Mode senyap tak bisa membendung notifikasi itu, sebab ia makin nyaring dalam senyap. Karena itulah salah satunya, orang-orang memilih bersemedi dan mengucilkan diri dalam ruang kasatmata. Sebagian memilih untuk tenggelam dalam bacaan, sebagian lagi dalam perenungan, dan saya memilih manuskrip sebagai salah satu ma’bad , tempat ibadah intelektual saya. Setahun yang lalu, lebih kurang, saya masih asing dengan ilmu Tahqiq Makhtutat , filologi sebutan canggihnya. Jauh sebelum itu lagi, saya masih curiga dengan pekerjaan semacam itu. Apa soal orang-orang mau sibuk untuk membaca teks kuno yang – bahkan membuat mata kusam – kemudian disalin ulang, dipermak, hingga layak dibaca dengan mudah. Maksudnya, nikmatnya itu di mana? Lalu saya jatuh ke dalam ruang itu tanpa sengaja diajak oleh seorang...
Banyak hal di dunia yang tidak melulu harus dibuka, ditebar, diedar. Memang, dengan membuka tulisan ini dengan kalimat itu dugaan sodara tidak kalah cepat dengan gigitan nyamuk jam 3 malam. Paling tidak, ada dua hal yang cepat diungkit oleh ingatan; pertama soal aib; kedua soal hati. Tapi kali ini bukan soal keduanya, hasrat hati ingin bicara soal yang satu ini: Lapar di sepertiga malam merupakan cobaan yang menyiksa. Katakanlah anda dapat menemukan sesuatu yang layak dimakan di dapur sana. Itu jelas keterangan dan ending nya. Apa jadinya bila di sana, atas meja makan, anda hanya menemukan satu baskom keripik. Rempeyek pula. Haqqul yakin saya, rempeyek tidak akan mampu mengenyangkan, layaknya indomie rebus. Apaboleh kerja, langsung saya buka itu baskom dan saya dipaksa menikmatinya, harap-harap menjadi pengganjal perut. Kurang lebih 4 kali saya masukkan tangan ke dalam baskom. Seperti adat penjahat kue dan aneka makanan enak lain, saya, anda, dan kita aka...