Banyak hal di dunia yang tidak melulu harus dibuka, ditebar, diedar. Memang, dengan membuka tulisan ini dengan kalimat itu dugaan sodara tidak kalah cepat dengan gigitan nyamuk jam 3 malam. Paling tidak, ada dua hal yang cepat diungkit oleh ingatan; pertama soal aib; kedua soal hati.
Tapi kali ini bukan soal keduanya, hasrat hati ingin bicara soal yang satu ini:
Lapar di sepertiga malam merupakan cobaan yang menyiksa. Katakanlah anda dapat menemukan sesuatu yang layak dimakan di dapur sana. Itu jelas keterangan dan endingnya. Apa jadinya bila di sana, atas meja makan, anda hanya menemukan satu baskom keripik. Rempeyek pula. Haqqul yakin saya, rempeyek tidak akan mampu mengenyangkan, layaknya indomie rebus. Apaboleh kerja, langsung saya buka itu baskom dan saya dipaksa menikmatinya, harap-harap menjadi pengganjal perut.
Kurang lebih 4 kali saya masukkan tangan ke dalam baskom. Seperti adat penjahat kue dan aneka makanan enak lain, saya, anda, dan kita akan menilik dan mencari yang paling enak lebih dahulu. Dalam hal ini, rempeyek yang didominasi oleh kacang menjadi mangsa apik, target utama saya. Tapi ada yang aneh, dari susunan tingkat satu hingga ke dasar tak saya temukan rempeyek yang didominasi kacang, bahkan sekalipun yang ber-kacang saja tak nampak.
Ada apa dengan rempeyek kali ini?
Saya cukup lekat mengamatinya. Dan, ahh, ibu begitu cerdik menata rempeyek. Ia ditata terbalik: bagian atas(yang nampak kacang) dibalikkan ke bawah. Mungkin ini caranya menyelamati rempeyek yang tidak didominasi kacang. Memang di sana ada kemungkinan rempeyek itu tidak jadi dibabat mulut sebab tidak banyak kacang. Tetapi dalam keadaan tangan sudah mengeluarkannya, demi menjaga etika makan, sangat sulit untuk menaruhnya pada tempat semula.
Kurang lebih begitu rempeyek mengajarkan kita bahwa apa-apa itu tidak melulu soal menampakkan. Ada hal yang lebih baik, bagi diri kita sendiri dan bagi orang lain pula, untuk tidak diperlihat dan ditebar kepada manusia.
Komentar
Posting Komentar