Langsung ke konten utama

Sumber Kutipan Turas; Bukti Daya Jangkau Ilmu

     Sudah dua pekan membran otak saya riuh tak berkesudahan. Penyebabnya sederhana, kutipan langsung yang dibubuhkan penulis kitab belum lagi saya temukan. Antara kesal dan bingung lah otak menari. Tarian itu makin menjadi ketika tiga hari sebelumnya saya menghadapi hal yang sama. Dan kian tajam ketika malam ini saya mengalami hal serupa.      Dalam penulisan kitab, wabil khusus kitab babon Turas, kutip-mengutip pendapat adalah kebiasaan. Hanya saja, terdapat perbedaan dalam teknik mengutip penulis kontemporer. Penulis kitab Turas, setelah mengutip pendapat orang lain secara langsung atau bukan, seringkali hanya menyebut nama penulis yang dikutip. Tak jarang juga disertai judul kitabnya sekalian. Dan sering juga hanya dipadai dengan judul kitab saja ketika penulis kitab itu sudah terlalu masyhur dengan kitabnya. Jangan tanya halaman dan jilidnya. Tidak ada itu.      Dalam pada itu, belakangan ini, ketika saya sedang melakukan pelacakan kutip...

Sumber Kutipan Turas; Bukti Daya Jangkau Ilmu


    Sudah dua pekan membran otak saya riuh tak berkesudahan. Penyebabnya sederhana, kutipan langsung yang dibubuhkan penulis kitab belum lagi saya temukan. Antara kesal dan bingung lah otak menari. Tarian itu makin menjadi ketika tiga hari sebelumnya saya menghadapi hal yang sama. Dan kian tajam ketika malam ini saya mengalami hal serupa.
    Dalam penulisan kitab, wabil khusus kitab babon Turas, kutip-mengutip pendapat adalah kebiasaan. Hanya saja, terdapat perbedaan dalam teknik mengutip penulis kontemporer. Penulis kitab Turas, setelah mengutip pendapat orang lain secara langsung atau bukan, seringkali hanya menyebut nama penulis yang dikutip. Tak jarang juga disertai judul kitabnya sekalian. Dan sering juga hanya dipadai dengan judul kitab saja ketika penulis kitab itu sudah terlalu masyhur dengan kitabnya. Jangan tanya halaman dan jilidnya. Tidak ada itu.
    Dalam pada itu, belakangan ini, ketika saya sedang melakukan pelacakan kutipan dalam kitab yang saya Tahqiq, saya menjumpai semua teknik di atas. Pelacakan nyaris begitu mudah ketika penulis mengutip secara lengkap — judul kitab, penulis, dan sub-judulnya, dan tentu saja kalau kitab itu sudah tersedia dalam bentuk digital.
    Pun tak jarang pelacakan satu kutipan — yang hanya tiga baris — memakan waktu hingga satu-dua jam. Ya, satu-dua jam, kawan. Itupun putus asa sudah berbisik kepada saya untuk menyerah saja. Penyebabnya? Pertama, kitab sumbernya masih manuskrip atau terbitan abad 17. Kedua, tidak tersedia daftar isi, sehingga harus menerka letak kutipan. Ketiga, kadang ternyata kutipan itu tidak langsung. Keempat, merasa asing dengan kitab sumber kutipan; baru pertama kali membacanya sehingga membuat saya harus mengerti lebih dulu bagaimana Uslub atau teknik penulisnya, yang artinya saya harus membaca pendahuluan kitab itu, minimalnya.
    Kadang, ketika otak saya belum lagi berhenti menari antara kesal-bingung gegara hal di atas sembari tetap berupaya melacak sumber, saya merasa pekerjaan semacam ini amat membuang waktu dan tenaga. Toh, apa sih untungnya, setidaknya bagi saya? Mengerjakan sesuatu yang penting lainnya lebih boleh saja ketimbang harus scroll lama mencari kutipan, pikir saya.
    Namun, sial, dalam perenungan itu saya tersadarkan dua hal. Pertama, bahwa saya masih bodoh dan sempit bacaan. Apa artinya saya yang mendaku sebagai penuntut ilmu — pakek ‘agama’ segala — tetapi judul kitab-kitab dan penulisnya yang dikutip oleh penulis kitab itu masih asing di telinga saya? Bukankah itu aib yang memalukan bagi saya?
    Kedua, bahwa para ulama yang menulis kitab itu tak pernah main-main sama sekali ketika menulis kitabnya, bahkan dalam penukilan dan pengutipannya. Sumber-sumber yang dikutip oleh mereka, secara tidak langsung, menunjukkan begitu luas daya jangkau keilmuan mereka, bahkan di zaman yang percetakan saja belum ada, bahkan kutipannya sama persis di sumbernya.
    Dua kesadaran itu pada kemudian membuat saya mengurung niat untuk berhenti dan putus asa dari ingin melacak setiap kutipan yang saya temukan dalam kitab Turas, betapapun pekerjaan itu memakan waktu yang tidak sedikit. Sebab, ada nikmat yang lezat nian di balik itu; nikmat batin yang seakan dapat membawa ke angkasa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membongkar Kebiasaan Kita

Tulisan ini akan menjadi sangat penting bagi pembaca yang masih bergelut dengan dunia pendidikan dayah dan semacamnya yang menggunakan kitab turas (kuning) sebagai bahan ajar.      Saat masih menjadi santri--dalam arti status murid—saya sudah diwanti-wanti oleh guru privat saya untuk tidak berburu-buru dalam belajar (mengaji dan mengulang mandiri) kitab. Pun, ketika hendak berubah status menjadi “guru”, saya diwasiatkan untuk menyiapkan bahan ajar dengan benar, betapa pun bahan ajar itu sudah berulang kali diajarkan. Dan seiring waktu, dengan melihat pengalaman dan pengamalan orang lain, serta bacaan yang kian meluas sedikit demi sedikit, adalah apa yang disampaikan guru saya itu benar adanya.       Kebiasaan yang salah, siapapun pelakunya, tetaplah salah. Kita sepakat akan hal ini. Masalahnya adalah ketika kebiasaan-kebiasaan itu lambat laun akan mengakar dan dari alam bawah sadar akan tercipta keyakinan bahwa kebiasaan itulah satu-satunya jalan yang ...

Ayah yang Bergairah, Untuk Murid yang Taufah

Gambar diambil pada 22 Mei 2022 Terhitung sejak September, dua bulan lebih yang lalu, Ayah di Balee kami menyebutnya, telah berumur 67 tahun. Tidak muda lagi sama sekali. Tujuh tahun beliau telah melewati umur galib, bahkan. Namun, semangatnya masih mampu meruntuhkan ranjau-ranjau dan aral melintang umur. Terhitung sudah sepekan penuh dan lebih dari sebelum tulisan ini ditulis, Ayah kembali mengajar seperti biasa, setelah lebih dari 2 pekan Ayah libur mengajar. Melihat umurnya yang sudah dikategorikan sebagai  syekh  rasanya bukanlah sebuah cela dan aib kalau saja Ayah berhenti atau setidaknya menjeda mengajar dalam beberapa waktu. Namun, tidak. Ayah belum lagi ingin berhenti; dari sejak diizinkan mengajar oleh gurunya, alm Abon Aziz, hingga kini, bahkan hingga malaikat menjemput.  Karakter dan semangat Ayah itu sebenarnya bukanlah hal yang ajaib bagi kalangan kaum sarungan di Aceh. Sebab, mereka paham dan yakin bahwa; sekali mengajar, maka sampai mati pun mengajar. Tak u...

Hibernasi Telah Selesai

Tak kurang 40 hari telah berlalu, menjadi tempo hibernasi bagi kalangan santri. Sebuah ruang waktu kekosongan mengaji yang akan selalu dihasrati oleh mereka. Jika masuk lebih dalam dan lebih jujur, hasrat mereka terhadap hibernasi telah melampaui dari batas normal bagi hakikat penuntut ilmu. Namun, apa boleh buat, begitu sudah tabiat dibentuk oleh lingkungan. Tentu ada banyak hal yang mereka khawatirkan dari habis masa aktif hibernasi; dirampok waktu gembira oleh belajar, ditilap kesempatan scrolling tiktok, dibabat keseruan berlaga para karakter nirnyata. Kekhawatiran itu biasanya akan muncul dalam bentuk, minimalnya, rasa mual dan pusing dalam perjalanan menuju ke Dayah; sebuah perjalanan yang begitu terasa cepat. Kekhawatiran itu dalam sejumlah babak malah diwujudkan dalam bentuk yang mereka lebih tahu. Bagi sebagian mereka, hibernasi tempo hari itu adalah tempo mematikan pikiran ilmiah, hingga tak lagi layak disebut hibernasi. Sebab, pada momen libur, mereka lebih memaknainya se...