Dunia sudah cukup sibuk dan ribut. Notifikasi bertalian datang; langganan kanal Youtube , kanal Telegram , grup-grup saling bersahutan, promo toko oranye dan hijau, dan pesan-pesan diskusi berkedok rindu. Mode senyap tak bisa membendung notifikasi itu, sebab ia makin nyaring dalam senyap. Karena itulah salah satunya, orang-orang memilih bersemedi dan mengucilkan diri dalam ruang kasatmata. Sebagian memilih untuk tenggelam dalam bacaan, sebagian lagi dalam perenungan, dan saya memilih manuskrip sebagai salah satu ma’bad , tempat ibadah intelektual saya. Setahun yang lalu, lebih kurang, saya masih asing dengan ilmu Tahqiq Makhtutat , filologi sebutan canggihnya. Jauh sebelum itu lagi, saya masih curiga dengan pekerjaan semacam itu. Apa soal orang-orang mau sibuk untuk membaca teks kuno yang – bahkan membuat mata kusam – kemudian disalin ulang, dipermak, hingga layak dibaca dengan mudah. Maksudnya, nikmatnya itu di mana? Lalu saya jatuh ke dalam ruang itu tanpa sengaja diajak oleh seorang...
Telah kita sepakati bahwa Nabi Muhammad lahir pada hari Senin tanggal 12 bulan rabiul awal. Kita sebagai umat terkasihnya, tentulah berbahagia menyambut dan merayakannya. Beraneka sambutan yang didekasikan kepadanya banyak kita temukan di belahan bumi kita, juga di belahan bumi lain. Dari berbagai macam sambutan itu adalah kita sekarang agaknya masih saja duduk-berdiri meluruskan dalil-dalil atas dasar apa ketentuan merayakannya. Aduhai. Begitu sibuk meluruskannya hingga kita lupa dengan esensi perayaan itu. Dengan begitu, bukanlah maksud tulisan ini untuk menilik dalil-dalil itu. Kita kesampingkan masalah dalil wa laka dalil, agar otak kita tak semrawut dan tak mentok pada dalil-dalil saja.
Adalah para ulama masa lampau, bila bulan Rabiul Awal hampir datang mereka bersiap-siap layaknya bersiap menyambut bulan Ramadhan. Antusiasme mereka hebat bukan buatan. Mulai membaguskan niat, meninggalkan aktivitas yang tidak penting, menyiapkan berbagai aneka makanan untuk dibagikan, dan tentunya bersiaga diri dengan berbagai shalawat dan pujian kepada Baginda. Begitu bulan Rabiul Awal datang, mereka berusaha agar tidak sama sekali meninggalkan shalawat.
Nah, ini lah yang harus kita teruskan. Artinya, meski adat kita sudah mengkhususkan perayaan pada Tgl 12 dengan menggelar pembacaan qasidah pujian, sejarah Nabi, pemberian kenduri yang melimpah ruah, jangan sampai kita hanya berhenti di titik itu, jangan sampai cukup merasa puas dengan itu, jangan sampai yang tidak melakukan ritual demikian kita sesatkan, sebab semangat dan ruh menyemarakkan hari lahir Nabi lebih dari itu yaitu kembali mengingat beliau dengan segala akhak mulianya lalu mencontohinya serta terus memperjuangkan ajaran lurusnya.
Seharusnya, jauh sebelum dan sesudah tgl 12 kita memperbanyak shalawat sebagaimana pada tgl 12 itu sendiri sebagaimana para pendahulu melakukannya. Semangat menjadikan Nabi sebagai contoh dalam kehidupan harus kembali dinyalakan semampu mungkin.
Maka, ini lah kesempatan kita paling efektif untuk kembali mengingatnya. Cobalah dengan membaca sekelumit kisahnya yang dapat membangkitkan cinta dan rindu kepadanya, dan terus menerus bershalawat kepadanya sesempat mungkin walau satu-dua kali. Bila mampu, khatamkanlah kitab Dalail Khairat karangan Syekh Muhammad ibn Sulaiman al-Jazuly atau semacamnya. Bahkan dengan mendengar senandung kekinian yang benar pun bisa menjadi ikhtiar bagi kita untuk mengingatnya.
Hanya yang tidak mengenalnya lah yang tidak membalas cinta dalamnya.
Allhumma Shalli 'Ala Nabi Habibil Mushtafa Shalatan wa Tasliman Katsira.
Tabik🙏

Syukran akhi telah mengingatkan kami serta membangunkan gairah kami untuk rindu dan cinta kepada baginda Nabi Muhammad SAW
BalasHapus