Berbetulan dengan memperingati hari santri, penulis ingin mengajak pembaca, khususnya santri, untuk kembali merenungi kembali titik kelemahan dan kekurangan kita, terutama sisi keilmuan, untuk kemudian diupayakan perbaikan-perbaikan yang optimal dan mendasar, baik dari sendiri atau lembaga tempat dinaunginya.
Sebelum itu, penulis adalah seorang yang bersifat santri dengan makna yang sudah masyhur. Dakwaan ini diperlukan agar semua dakwaan di depan nanti sesuai dengan pendakwa, dan tentunya dapat dipertanggungjawabkan oleh orang yang separuh besar hidupnya sudah dihabiskan dalam dunia santri.
Biarkan saya menggunakan istilah santri dengan makna orang yang senantiasa hidup dalam ilmu; menuntut, menimba, dan menyebarkan ilmu. Makna tersebut adalah makna hakikat dengan sedikit tawassu’ dari serapan Thalib al-‘ilm dalam bahasa Arab. Konsekuensinya, seperti dalam kaidah teorema bahasa, penggunaan kata Thalib al-‘ilm dianggap penggunaan hakikat adalah di saat seseorang “berpakaian” dengan sifat mencari; menimba; dan menyebarkan ilmu.
Adapun 'saat' selain itu atau dengan makna yang bukan seperti itu, seperti seseorang yang belajar di dayah maka penggunaan kata 'santri' adalah penggunaan majas belaka. Dan ‘santri’ dengan makna majas terakhirlah yang dimaksud dalam tulisan ini. Sebab, kenyataan lebih banyak menghendaki makna majazi santri; santri di lingkungan dayah. Selain santri yang dimaksud, tidaklah dimaksudkan dalam tulisan ini, meski kadang nanti juga dapat di-hamal (dimaksudkan) oleh pembaca.
Cara Berpikir
Maklum diketahui bahwa santri di dayah diajarkan kitab-kitab ilmu Mantik. Mulai dari yang paling dasar seperti Sullam Munawraq hingga tingkat menengah seperti Syarh Shagir Ahmad Mallawi. Idealnya, cara berpikir akan minim bermasalah setelah menempuh pembelajaran teori-teori itu dengan optimal. Namun, melihat praktik-praktik—yang merupakan produk pikiran—santri masih banyak tersesat dalam alam pikiran, bahkan saat setelah mempelajari ilmu Mantik.
Kesalahan berpikir itu bisa dilacak dengan bagaimana santri memperlakukan, menghargai, dan menghidupkan ilmu. Tolok ukurnya adalah saat santri di luar masa “kewajiban” belajar (enam tahun). Lihatlah santri setelah masa itu, atau di luar masa "wajib" belajar, kalau ia masih memperlakukan, menghargai, dan. menghidupkan ilmu dengan seharusnya, bisa dicap pikirannya sudah benar. Kalau tidak, berarti pikirannya, tahulah, masih tiarap.
Oh, iya, benar memang, penyebab yang menentukan bagaimana santri memperlakukan, menghargai, dan menghidupkan ilmu di atas bukanlah semata-mata kesalahan-kebenaran berpikir. Di sana ada faktor lain di luar dirinya sendiri yang bukan ini tempatnya untuk dibahas. Namun, sungguh pun ada faktor lain itu, bukankah akan lebih insaf jika penyebab itu ditodong kepada dirinya sendiri sebagai orang yang sedang dan sudah menyesap ilmu pengetahuan selama enam-tujuh tahun. Seharusnya, ilmu pengetahuan yang bertambah seiring dengan umur yang makin matang dapat membantunya berpikir dengan benar hingga muncul kelakuan yang benar pula.
Sisi inilah yang, saya duga kuat, sangat terdesak untuk diperbaiki. Orang dan lingkungan dayah harus sedapat mungkin membantu santri untuk memperbaiki cara berpikirnya dan cara penilaiannya terhadap ilmu. Sebab dari cara berpikir yang benar dapat terbangun semua usaha-usaha perbaikan lainnya dalam sisi keilmuan. Kita harus menyudahi segera pikiran dan penilaian yang mengerdilkan ilmu, seperti “Yang penteng long na di dayah. Peukara beut, aman nyan, yang peunteng ek glah”, “Syukor chit na kuh manteng di dayah”, dan semisalnya.
Membuka Wawasan Khazanah Turats Lebih Luas
Dilihat dari sejumlah kurikulum yang diterapkan di dayah-dayah, dapat dikatakan semua kurikulumnya hampir seragam. Meski begitu, di waktu belajar privat di dayah-dayah, ada juga penggunaan kitab-kitab di luar kurikulum. Namun, nampaknya, itu belum cukup. Area jangkauan bacaan santri masih belum bisa dikatakan cukup luas dan masih cukup seragam.
Santri harus disadarkan betapa banyak khazanah turas yang perlu dijamah. Passion mereka terhadap satu fan ilmu harus lebih ditumbuhkan untuk kemudian disodorkan kitab-kitab berbobot dan muktabar dalam fan ilmu itu untuk dikuasainya fan ilmu itu di kemudian hari. Tidak hanya berhenti di situ, setelah cukup dengan satu fan ilmu, pada gilirannya santri akan menemukan passion-nya sendiri terhadap fan ilmu yang lain.
Hal tersebut dibutuhkan, bukan untuk mencetak ‘Waled’, ‘Walidon, ‘Abi’, dan segala sematan sosial semata, melainkan untuk menahkikkan khitah santri, terlepas nantinya ia akan menjadi ulama lengkap dengan sematan-sematan itu atau tidak. Sudah cukup santri disodorkan ide-ide berpuas diri dengan apa yang ada, “Keu pue keuh malem that, ureung yang ka malem hana meuhoe tajoe dum”, atau ditodong dengan stigma aneh tentang kitab yang tidak diajarkan, “Meu kitab yang geupeubeut hanjeut keuh, na baca kitab laen lom”, atau “Ijih tanyoe ta baca kitab yang na geu peubeut le guree teuh manteng, hana peu ta yak peu eumboeng droe ngoen baca kitab laen”, dan semisalnya.
Sebab, kalau santri masih “dibeton” dengan stigma-stigma itu, mau tidak mau keilmuan santri nantinya bak orang yang mengegas motor Satria Walet tanpa memasukkan gigi; nyaring, tapi jalan di tempat. Sebab, keberhajatan membuka wawasan lebih luas dengan membaca kitab-kitab dan buku-buku yang tidak diajarkan adalah perkara yang diterima oleh agama dan akal yang sehat.
Role Model
Orang yang mendakwa diri sebagai "penuntut ilmu" seharusnya memiliki role model yang sesuai dengan karakter yang didakwanya, istilah canggihnya itu matsal al-a'la, untuk diikuti dan ditiru. Artinya, role model itu dijadikan sebagai cerminan dan tolok ukur dalam perjalanan keilmuannya agar dia dapat menapaki jalan keilmuan dengan benar.
Jika dilihat sepintas, santri seperti kehilangan role model meski hidup berdampingan dengan sosok yang dipuja-pujinya. Atau, juga bisa dikatakan enggan menjadikan sosok tertentu sebagai role model baginya dikarenakan adanya role model lain yang dianggap lebih menyatu dan sesuai dengan dirinya.
Untuk hal ini, bisa dilihat bagaimana para ulama menulis sepak terjang para ulama dalam menuntut ilmu, bagaimana mereka rela mengorbankan apapun demi ilmu. Selain kisah itu untuk diceritakan track record hidup dan ilmunya, juga dijadikan sebagai role model oleh orang setelahnya yang menapaki jalan keilmuan.
Kalaupun role model ulama dulu terkesan macam dongeng, sekarang pun santri belum lagi kekurangan dan kehilangan role model yang sesuai dalam jalan keilmuan untuk diikuti. Sepak terjang dan usaha-usaha keilmuan ulama tua dan ulama muda, di Aceh khususnya, kiranya dapat dijadikan role model yang paling dekat untuk diikuti. Mulai dari ulama atau santri yang mengusai suatu fan ilmu dengan baik, hingga ulama yang menyebarkan ilmu dengan menulis adalah role model yang dekat untuk dicontohi. Jangan malah mendakwa diri sebagai penuntut ilmu tapi role model yang diikuti justru pemain game, pencari 'tuah' ponzi dan slot, dan selainnya yang bertabrakan dengan dakwaannya, yang membuatnya menjadi santri red flag.
Penutup
Tiga persoalan itu, setidaknya, masih menjadi titik kekurangan kita, santri. Di samping itu, juga masih banyak PR-PR yang belum terselesaikan oleh kita, seperti persoalan pembelajaran yang dinamis tanpa mengurangi muatan dan nilai-nilai yang telah diwariskan, pendidikan karakter yang semakin menyusut, kekerasan fisik-psikis, kekerasan seksual, dan diskriminasi, yang ketiga hal terakhir tersebut akhir-akhir ini semakin sering mencuat di permukaan. Semua titik kekurangan itu perlu disadari, bukan untuk dijadikan sebagai senjata yang ditodong kepada santri dan lembaganya, tetapi untuk perbaikan oleh santri sendiri, lembaga, dan bahkan pemerintah.
Selamat merayakan hari memperingati santri.
Obat yang mujarrab untuk para pendakwa santri
BalasHapusbereh tgk
BalasHapusustadz, apakah do'a bisa mengubah takdir ?
BalasHapusMeutrap
BalasHapus