Langsung ke konten utama

Dunia Pengalihan: Manuskrip

Dunia sudah cukup sibuk dan ribut. Notifikasi bertalian datang; langganan kanal Youtube , kanal Telegram , grup-grup saling bersahutan, promo toko oranye dan hijau, dan pesan-pesan diskusi berkedok rindu. Mode senyap tak bisa membendung notifikasi itu, sebab ia makin nyaring dalam senyap. Karena itulah salah satunya, orang-orang memilih bersemedi dan mengucilkan diri dalam ruang kasatmata. Sebagian memilih untuk tenggelam dalam bacaan, sebagian lagi dalam perenungan, dan saya memilih manuskrip sebagai salah satu ma’bad , tempat ibadah intelektual saya. Setahun yang lalu, lebih kurang, saya masih asing dengan ilmu Tahqiq Makhtutat , filologi sebutan canggihnya. Jauh sebelum itu lagi, saya masih curiga dengan pekerjaan semacam itu. Apa soal orang-orang mau sibuk untuk membaca teks kuno yang – bahkan membuat mata kusam – kemudian disalin ulang, dipermak, hingga layak dibaca dengan mudah. Maksudnya, nikmatnya itu di mana? Lalu saya jatuh ke dalam ruang itu tanpa sengaja diajak oleh seorang...

Ayah yang Bergairah, Untuk Murid yang Taufah

Gambar diambil pada 22 Mei 2022

Terhitung sejak September, dua bulan lebih yang lalu, Ayah di Balee kami menyebutnya, telah berumur 67 tahun. Tidak muda lagi sama sekali. Tujuh tahun beliau telah melewati umur galib, bahkan. Namun, semangatnya masih mampu meruntuhkan ranjau-ranjau dan aral melintang umur.


Terhitung sudah sepekan penuh dan lebih dari sebelum tulisan ini ditulis, Ayah kembali mengajar seperti biasa, setelah lebih dari 2 pekan Ayah libur mengajar.


Melihat umurnya yang sudah dikategorikan sebagai syekh rasanya bukanlah sebuah cela dan aib kalau saja Ayah berhenti atau setidaknya menjeda mengajar dalam beberapa waktu. Namun, tidak. Ayah belum lagi ingin berhenti; dari sejak diizinkan mengajar oleh gurunya, alm Abon Aziz, hingga kini, bahkan hingga malaikat menjemput. 


Karakter dan semangat Ayah itu sebenarnya bukanlah hal yang ajaib bagi kalangan kaum sarungan di Aceh. Sebab, mereka paham dan yakin bahwa; sekali mengajar, maka sampai mati pun mengajar. Tak usah punya lembaga, tak usah mengajar kitab babon, cukup ada orang yang ingin belajar, cukup ajari huruf syain pun, tetap mengajar.


Namun, ada yang lebih dari Ayah, lebih dari karakter dan semangat yang dipahami itu; sebelum 29 April 2018 Ayah tetap kekeh tidak mau mengajar di luar pesantren. Dari manapun permintaan datang, Ayah selalu menolak dengan beralasan. Bukan tanpa sebab dan bukan karena Ayah bersifat eksklusif dari dunia luar, tetapi Ayah hanya ingin terus menjaga amanat gurunya, Alm Abon Aziz. “Gata bek ta sameubeut di luwa. Meuhan gadoeh ureung di dayah.” Kira-kira demikian pesan Abon untuk Ayah.


Setelah 29 April 2018 itu, secara bertahap, Ayah mulai “membuka diri” bagi dunia luar untuk mengajar di luar dayah. Ini pun bukan karena apa-apa, melainkan, lagi-lagi, pesan gurunya Abu Mudi yang telah memercayakan Ayah sebagai Ketua Tastafi Pusat, yang di antara tugasnya ialah mengajar di luar.


Tengoklah, Ayah hanya lari dari satu pesan gurunya ke pesan yang lain. Tak lebih tak kurang.


Sejak itulah, secara bertahap pula, para muridnya merasa “kehilangan” Ayah. Dalam arti, Ayah tidak lagi hanya mengajar di dayah, melainkan juga di tempat-tempat lain. Hingga kini, terhitung sebanyak 5-7 pertemuan dalam sebulan Ayah mengajar di luar. 


Memang, tidak semua jadwal di luar itu menggangu mengajar Ayah di dayah. Sebagian jadwal itu tidak bertentangan dengan jadwal Ayah mengajar di dayah pukul 07.30-09.00.


Pada awal tahun ini, Ayah mengidap penyakit saraf pinggang—semoga Allah lekas menyembuhkannya. Ayah merasa kurang nyaman saat mengajar. Duh, hal itu lagi-lagi membuat jadwal Ayah mengajar di dalam dan luar dayah terganggu. Dan, ya, sepekan yang lalu baru Ayah kembali mengajar pagi di dayah secara rutin. Bayangkan, umur sudah 67 tahun, penyakit sudah gemar mengintip dan mampir, tetapi Ayah masih kekeh untuk mengajar. 


Sebelumnya, walau sudah merasakan ketidaknyamanan sakit pinggang, Ayah masih mengajar dengan duduk di lantai, lengkap dengan alat bantu penyanggga pinggul dan punggung sebagai alasnya. Namun, sejak sepekan ini Ayah mengajar menggunakan meja dan duduk di atas kursi. Saat merasa nyeri, Ayah berdiri sekira 3-4 menit, lalu duduk lagi. Terhitung, paling tidak, Ayah berdiri sebanyak 3-4 kali dalam satu pertemuan.


Betapa masih bergairahnya Ayah mengajar untuk kami, murid-muridnya, yang taufah; lemah pikiran dan semangat. Betapa masih rela-relanya Ayah bertarung dengan rasa sakit untuk mengajari kami yang berleha-leha dan kalah bertarung dengan kemalasan dan kebebalan.


Agak dramatis memang, tetapi ini harus saya tuliskan, hampir saja saya menitikkan air mata tempo hari, di hari pertama kali hadir kembali majlis Ayah mengajar dengan cara demikian. Saya rapuh. Bukan karena mengasihani Ayah, melainkan mengasihani diri sendiri; betapa tak bersyukurnya memiliki guru yang seagung ini; betapa teganya saya masih zuhud dari ilmunya; dan betapa nir-adabnya saya yang rela meninggalkan belajar padanya karena “uzur” yang tidak pantas disebut uzur.


Meski dalam keadaan begitu pun, Ayah masih saja mengajar sesuai khasnya; intens, tajam, dan detil. Meski, memang, belakangan ini Ayah sedikit mengurangi keintensitasnya bukan karena Ayah lemah, tetapi karena muridnya yang sudah menjelma orang yang asing bagi Ayah. Seakan Ayah tahu, kami muridnya macam tak mau diajak berpikir dan berpacu dalam melahap ibarat-ibarat kitab. 


Muridnya macam orang haus yang sudah berada di telaga air jernih dan sejuk, tapi malah hanya memilih diam diri—untuk tidak berkata menjauh darinya. Tak usah jauh cari bandingan untuk memahami situasi itu. Anda ngomong saja sama orang yang planga-plongo tak jelas, pun, membuat anda malas untuk ngomong lagi. Apalagi kalau mengajar!


Aduh, Tuhan, betapa kami muridnya ini tak sadar diri. Betapa kami muridnya ini masih rela bertepuk tangan saat kosong belajar dengannya. Murid macam apa kami ini kalau kami masih hitung-hitungan belajar pada Ayah yang tak lagi sesehat dulu. Murid macam apa kami ini yang terus-terusan berlomba mencari alibi kealpaan belajar padanya. Murid macam kami ini yang sok-sokan “siap” belajar padanya, padahal tahunya cuma ketawa dalam majlisnya.


Tuhan, jangan buat Ayah kecewa dengan kami.

Tuhan, bangunkan kami bahwa kami memiliki guru yang didambakan banyak orang, yang diimpikan khalayak ramai. Cukup itu.


Selamat Hari Guru, Ayah di Balee dan guru-guru kita yang lain. 

Harap-harap agar tidak menjadi murid yang macam tak punya guru.

Komentar

  1. Terima kasih sudah menulis tulisan yang bagus, tertampar dan menyadarkan.

    BalasHapus
  2. Semoga Ayah selalu diberikan kesehatan dan keberkahan umur. Dan teruntuk kita semoga tidak ada rasa bosan untuk mengambil ilmu dari ayah, agar tidak ada kata ‘telah teh’ kemudian harinya.

    BalasHapus
  3. Semoga Ayah senantiasa dalam lindungan Allâh dan diberi umur yang panjang. Aamiimn

    BalasHapus
  4. Sungguh Ayah yang luar biasa
    Dan,kami murid yang kurang ajar

    BalasHapus
  5. الاهم ارزقنا توفيق لتعلم العلوم وازقنا براكة العلماءنا 🥰

    BalasHapus
  6. Semoga Ayah Cot Truëng dalam keadaan sehat wal afiyat dan dipanjangkan umur oleh Allah Subhanallaahu wata'ala. Amiin bijaahi Nabiyyil amiin 🤲

    BalasHapus
  7. Sungguh sangat menyentuh,,semangat ayah mengalahkan semangat kita yang masih muda dan sehat,,,moga tulisan ne jadi pengingat dan penyemangat tuk kita semua

    BalasHapus
  8. Indah dan penuh makna🌹

    BalasHapus
  9. Semoga dapat menulis karya tentang ayah atau kisah kehidupan nya..sebgai contoh dan panutan bagi masyarakat.

    BalasHapus
  10. Dapat kita jadikan sebagai panutan... ceritanya bagus sekali

    BalasHapus
  11. Moga2 kmi seperti ayah

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membongkar Kebiasaan Kita

Tulisan ini akan menjadi sangat penting bagi pembaca yang masih bergelut dengan dunia pendidikan dayah dan semacamnya yang menggunakan kitab turas (kuning) sebagai bahan ajar.      Saat masih menjadi santri--dalam arti status murid—saya sudah diwanti-wanti oleh guru privat saya untuk tidak berburu-buru dalam belajar (mengaji dan mengulang mandiri) kitab. Pun, ketika hendak berubah status menjadi “guru”, saya diwasiatkan untuk menyiapkan bahan ajar dengan benar, betapa pun bahan ajar itu sudah berulang kali diajarkan. Dan seiring waktu, dengan melihat pengalaman dan pengamalan orang lain, serta bacaan yang kian meluas sedikit demi sedikit, adalah apa yang disampaikan guru saya itu benar adanya.       Kebiasaan yang salah, siapapun pelakunya, tetaplah salah. Kita sepakat akan hal ini. Masalahnya adalah ketika kebiasaan-kebiasaan itu lambat laun akan mengakar dan dari alam bawah sadar akan tercipta keyakinan bahwa kebiasaan itulah satu-satunya jalan yang ...

Hibernasi Telah Selesai

Tak kurang 40 hari telah berlalu, menjadi tempo hibernasi bagi kalangan santri. Sebuah ruang waktu kekosongan mengaji yang akan selalu dihasrati oleh mereka. Jika masuk lebih dalam dan lebih jujur, hasrat mereka terhadap hibernasi telah melampaui dari batas normal bagi hakikat penuntut ilmu. Namun, apa boleh buat, begitu sudah tabiat dibentuk oleh lingkungan. Tentu ada banyak hal yang mereka khawatirkan dari habis masa aktif hibernasi; dirampok waktu gembira oleh belajar, ditilap kesempatan scrolling tiktok, dibabat keseruan berlaga para karakter nirnyata. Kekhawatiran itu biasanya akan muncul dalam bentuk, minimalnya, rasa mual dan pusing dalam perjalanan menuju ke Dayah; sebuah perjalanan yang begitu terasa cepat. Kekhawatiran itu dalam sejumlah babak malah diwujudkan dalam bentuk yang mereka lebih tahu. Bagi sebagian mereka, hibernasi tempo hari itu adalah tempo mematikan pikiran ilmiah, hingga tak lagi layak disebut hibernasi. Sebab, pada momen libur, mereka lebih memaknainya se...