Diantara sebab keberhasilan pembelajaran kitab kuning dan sampai kepada target ialah harmoni kesungguhan. Harmoni kesungguhan ini dapat diartikan sebagai keselarasan atau keserasian kesungguhan dalam pembelajaran yang terjalin antara pendidik dan murid. Artinya kesungguhan harus muncul dari dua arah; pendidik dan murid.
Bentuk paling nyata dari harmoni kesungguhan ini adalah pendidik mempersiapkan bahan ajar. Sementara di sisi lain, murid juga harus menyiapkan diri dengan membaca dan memeriksa lebih dahulu pada maqra’ yang akan diajarkan. Saat kedua belah pihak tidak mewujudkan kesungguhan ini, maka tiada lagi harmoni dalam pembelajaran. Ibaratnya, cinta bertepuk sebelah tangan, atau malah cinta yang tak pernah bertepuk dan bertemu.
Tak usah ragu, para ulama dulu hingga kiwari tetap mensyaratkan hal ini dalam pembelajaran. Mereka mengkategorikan harmoni ini dalam bagian adab-adab guru dan murid dalam pembelajaran. Artinya, ia adalah salah satu syarat untuk menghasilkan ilmu, yang benar-benar ilmu. Artinya lagi, ketika syarat ini tidak ada, maka apa yang didapatkan murid bukanlah benar-benar ilmu (paham yang benar dan kokoh), melainkan hanya informasi—yang tentunya bisa didapat selain di balai. Maka apa yang diterangkan guru hanya penukilan-penukilan semata tanpa pemaknaan kembali.
Harmoni kesungguhan antara guru dan murid inilah yang akan mewujudkan pembelajaran yang memuaskan dan tercapai target pembelajaran yang dimaksud. Kesungguhan pendidik—yang akan kita ulas lebih lanjut di lain kesempatan—begitu berpengaruh dalam menciptakan harmoni tadi. Artinya, kesungguhan yang muncul dari pendidik, pada babak tertentu, akan menjangkiti murid untuk mewujudkannya pula. Sebab, murid adalah peniru yang handal.
Sementara kesungguhan pada murid, dalam hal ini bagi murid yang telah mampu membaca dan memahami secara mandiri, dapat diwujudkan dengan membaca dan menelaah teks-teks yang akan diajarkan, serta memiliki sejumlah kesimpulan terhadap teks-teks tersebut. Dengan demikian, murid bukan lagi orang yang khali zihn/kekosongan pikiran–yang akan membawanya kepada planga-plongo (teuinggiek)–saat hadir di balai.
Persiapan itulah yang membuktikan ia sungguh untuk belajar atau tidak. Dengan persiapan itu juga ia akan terlatih untuk menilai dan mengukur kemampuan berpikirnya. Dengan itu juga akan terciptanya suasana ilmiah dan diskusi dalam ruang belajar, bukan malah suasana pembelajaran tembok (satu arah).
Jika harmoni kesungguhan bisa diwujudkan dalam pembelajaran, sungguh, pembelajaran tidak akan menjadi bosan dan hening. Malah sebaliknya, menjadi bergairah dan berbobot. Tadqiq atau pedalaman dan perluasan surah akan terwujud dengan sendirinya, sebab pengajar tak segan mengajak murid menjelajah dan murid tahu apa yang dijelajah.

Komentar
Posting Komentar