Seharusnya tidak ada yang benar-benar payah dalam hidup ini. Payah dan
mudah hanya perkara kebiasaan atau tidak. Kepayahan sesuatu berbanding lurus
dengan ketakbiasaan, sebaliknya begitu juga. Begitulah sunatullah berlaku pada
hampir semua perkara.
Memang ada sebagian hal yang dikatakan “sulit”, tetapi kesulitan ini bukan
berarti tidak akan pernah mudah. Ia akan menjelma kemudahan ketika kebiasaan
sudah berlaku nantinya. Penaklukan gunung tinggi bagi seseorang tidak akan
benar-benar sulit ketika ia bersikukuh dan bersabar pada jalan terjal dan
menukik tajam itu.
Layaknya mencari ilmu (dalam hal ini mengkaji kitab kuning), semuanya hanya
soal kebiasaan. Bagi pemula, tentulah memahami kitab panjang lebar tetap akan
sulit. Selain karena tidak biasa, ia juga belum cukup kualifikasi untuk
memahami. Maka, sebaliknya bagi orang-orang yang “nyaman” dengan tingkatan
tinggi dalam beut-seumeubeut, tentulah menghafal dan mengusai
matan-matan di kemudian hari yang seharusnya sudah lebih dulu selesai bukanlah
perkara sulit, bukan?
Ini hanya soal jalan; makin menanjak dan menukik jalan ditempuh tentu
kepayahan dan kemudahan hanya nisbi belaka; di awal langkah payah lalu disusul
kemudahan, hingga kepayahan kembali lagi dan lanjut dijenguk oleh kemudahan.
Seterusnya belaku sedemikian hingga kiamat.
Namun, persoalannya bukan kenisbian payah dan mudah, melainkan kepayahan
lebih dahulu menjadi Point of View bagi kebanyakan orang pada
setiap apa yang tidak dikuasai atau apa-apa saja yang ingin dikuasai.
Aksentuasi atau penekanan pada sisi payah, tanpa menyadari adanya mudah di
belakang itu, kebanyakan malah menghantui kita untuk memulai sesuatu. Hingga
berujung pada memutar balik langkah, lalu menyusuri tapakan yang dianggap mudah
meskipun kadang tidak mengantarkan kepada tujuan sebenarnya.
Aksentuasi atau penekanan pada sisi payah, tanpa menyadari adanya mudah di belakang itu, kebanyakan malah menghantui kita untuk memulai sesuatu
Mungkin karena beginilah lahir adagium yang berbunyi “anggaplah sesuatu
itu mudah agar engkau mau melakukannya, tapi simpan di hatimu itu sesuatu itu
payah agar kamu tidak meremehkannya”.
Pada akhirnya, tetaplah apa saja yang di bumi itu nisbi semata, tidak benar-benar
abadi, termasuk payah dan mudah. Yang nampak abadi hanya sesuatu yang terus
dilakukan berkesinambungan, seperti rasaku pada ayang. haha
👍🏻
BalasHapusTabik, 🙇🏽♂️
Hapus