Langsung ke konten utama

Dunia Pengalihan: Manuskrip

Dunia sudah cukup sibuk dan ribut. Notifikasi bertalian datang; langganan kanal Youtube , kanal Telegram , grup-grup saling bersahutan, promo toko oranye dan hijau, dan pesan-pesan diskusi berkedok rindu. Mode senyap tak bisa membendung notifikasi itu, sebab ia makin nyaring dalam senyap. Karena itulah salah satunya, orang-orang memilih bersemedi dan mengucilkan diri dalam ruang kasatmata. Sebagian memilih untuk tenggelam dalam bacaan, sebagian lagi dalam perenungan, dan saya memilih manuskrip sebagai salah satu ma’bad , tempat ibadah intelektual saya. Setahun yang lalu, lebih kurang, saya masih asing dengan ilmu Tahqiq Makhtutat , filologi sebutan canggihnya. Jauh sebelum itu lagi, saya masih curiga dengan pekerjaan semacam itu. Apa soal orang-orang mau sibuk untuk membaca teks kuno yang – bahkan membuat mata kusam – kemudian disalin ulang, dipermak, hingga layak dibaca dengan mudah. Maksudnya, nikmatnya itu di mana? Lalu saya jatuh ke dalam ruang itu tanpa sengaja diajak oleh seorang...

Kenisbian Payah dan Mudah

 


Seharusnya tidak ada yang benar-benar payah dalam hidup ini. Payah dan mudah hanya perkara kebiasaan atau tidak. Kepayahan sesuatu berbanding lurus dengan ketakbiasaan, sebaliknya begitu juga. Begitulah sunatullah berlaku pada hampir semua perkara.

Memang ada sebagian hal yang dikatakan “sulit”, tetapi kesulitan ini bukan berarti tidak akan pernah mudah. Ia akan menjelma kemudahan ketika kebiasaan sudah berlaku nantinya. Penaklukan gunung tinggi bagi seseorang tidak akan benar-benar sulit ketika ia bersikukuh dan bersabar pada jalan terjal dan menukik tajam itu.

Layaknya mencari ilmu (dalam hal ini mengkaji kitab kuning), semuanya hanya soal kebiasaan. Bagi pemula, tentulah memahami kitab panjang lebar tetap akan sulit. Selain karena tidak biasa, ia juga belum cukup kualifikasi untuk memahami. Maka, sebaliknya bagi orang-orang yang “nyaman” dengan tingkatan tinggi dalam beut-seumeubeut, tentulah menghafal dan mengusai matan-matan di kemudian hari yang seharusnya sudah lebih dulu selesai bukanlah perkara sulit, bukan?

Ini hanya soal jalan; makin menanjak dan menukik jalan ditempuh tentu kepayahan dan kemudahan hanya nisbi belaka; di awal langkah payah lalu disusul kemudahan, hingga kepayahan kembali lagi dan lanjut dijenguk oleh kemudahan. Seterusnya belaku sedemikian hingga kiamat.

Namun, persoalannya bukan kenisbian payah dan mudah, melainkan kepayahan lebih dahulu menjadi Point of View bagi kebanyakan orang pada setiap apa yang tidak dikuasai atau apa-apa saja yang ingin dikuasai. Aksentuasi atau penekanan pada sisi payah, tanpa menyadari adanya mudah di belakang itu, kebanyakan malah menghantui kita untuk memulai sesuatu. Hingga berujung pada memutar balik langkah, lalu menyusuri tapakan yang dianggap mudah meskipun kadang tidak mengantarkan kepada tujuan sebenarnya.

Aksentuasi atau penekanan pada sisi payah, tanpa menyadari adanya mudah di belakang itu, kebanyakan malah menghantui kita untuk memulai sesuatu

Mungkin karena beginilah lahir adagium yang berbunyi “anggaplah sesuatu itu mudah agar engkau mau melakukannya, tapi simpan di hatimu itu sesuatu itu payah agar kamu tidak meremehkannya”.

Pada akhirnya, tetaplah apa saja yang di bumi itu nisbi semata, tidak benar-benar abadi, termasuk payah dan mudah. Yang nampak abadi hanya sesuatu yang terus dilakukan berkesinambungan, seperti rasaku pada ayang. haha  

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membongkar Kebiasaan Kita

Tulisan ini akan menjadi sangat penting bagi pembaca yang masih bergelut dengan dunia pendidikan dayah dan semacamnya yang menggunakan kitab turas (kuning) sebagai bahan ajar.      Saat masih menjadi santri--dalam arti status murid—saya sudah diwanti-wanti oleh guru privat saya untuk tidak berburu-buru dalam belajar (mengaji dan mengulang mandiri) kitab. Pun, ketika hendak berubah status menjadi “guru”, saya diwasiatkan untuk menyiapkan bahan ajar dengan benar, betapa pun bahan ajar itu sudah berulang kali diajarkan. Dan seiring waktu, dengan melihat pengalaman dan pengamalan orang lain, serta bacaan yang kian meluas sedikit demi sedikit, adalah apa yang disampaikan guru saya itu benar adanya.       Kebiasaan yang salah, siapapun pelakunya, tetaplah salah. Kita sepakat akan hal ini. Masalahnya adalah ketika kebiasaan-kebiasaan itu lambat laun akan mengakar dan dari alam bawah sadar akan tercipta keyakinan bahwa kebiasaan itulah satu-satunya jalan yang ...

Ayah yang Bergairah, Untuk Murid yang Taufah

Gambar diambil pada 22 Mei 2022 Terhitung sejak September, dua bulan lebih yang lalu, Ayah di Balee kami menyebutnya, telah berumur 67 tahun. Tidak muda lagi sama sekali. Tujuh tahun beliau telah melewati umur galib, bahkan. Namun, semangatnya masih mampu meruntuhkan ranjau-ranjau dan aral melintang umur. Terhitung sudah sepekan penuh dan lebih dari sebelum tulisan ini ditulis, Ayah kembali mengajar seperti biasa, setelah lebih dari 2 pekan Ayah libur mengajar. Melihat umurnya yang sudah dikategorikan sebagai  syekh  rasanya bukanlah sebuah cela dan aib kalau saja Ayah berhenti atau setidaknya menjeda mengajar dalam beberapa waktu. Namun, tidak. Ayah belum lagi ingin berhenti; dari sejak diizinkan mengajar oleh gurunya, alm Abon Aziz, hingga kini, bahkan hingga malaikat menjemput.  Karakter dan semangat Ayah itu sebenarnya bukanlah hal yang ajaib bagi kalangan kaum sarungan di Aceh. Sebab, mereka paham dan yakin bahwa; sekali mengajar, maka sampai mati pun mengajar. Tak u...

Hibernasi Telah Selesai

Tak kurang 40 hari telah berlalu, menjadi tempo hibernasi bagi kalangan santri. Sebuah ruang waktu kekosongan mengaji yang akan selalu dihasrati oleh mereka. Jika masuk lebih dalam dan lebih jujur, hasrat mereka terhadap hibernasi telah melampaui dari batas normal bagi hakikat penuntut ilmu. Namun, apa boleh buat, begitu sudah tabiat dibentuk oleh lingkungan. Tentu ada banyak hal yang mereka khawatirkan dari habis masa aktif hibernasi; dirampok waktu gembira oleh belajar, ditilap kesempatan scrolling tiktok, dibabat keseruan berlaga para karakter nirnyata. Kekhawatiran itu biasanya akan muncul dalam bentuk, minimalnya, rasa mual dan pusing dalam perjalanan menuju ke Dayah; sebuah perjalanan yang begitu terasa cepat. Kekhawatiran itu dalam sejumlah babak malah diwujudkan dalam bentuk yang mereka lebih tahu. Bagi sebagian mereka, hibernasi tempo hari itu adalah tempo mematikan pikiran ilmiah, hingga tak lagi layak disebut hibernasi. Sebab, pada momen libur, mereka lebih memaknainya se...