Langsung ke konten utama

Dunia Pengalihan: Manuskrip

Dunia sudah cukup sibuk dan ribut. Notifikasi bertalian datang; langganan kanal Youtube , kanal Telegram , grup-grup saling bersahutan, promo toko oranye dan hijau, dan pesan-pesan diskusi berkedok rindu. Mode senyap tak bisa membendung notifikasi itu, sebab ia makin nyaring dalam senyap. Karena itulah salah satunya, orang-orang memilih bersemedi dan mengucilkan diri dalam ruang kasatmata. Sebagian memilih untuk tenggelam dalam bacaan, sebagian lagi dalam perenungan, dan saya memilih manuskrip sebagai salah satu ma’bad , tempat ibadah intelektual saya. Setahun yang lalu, lebih kurang, saya masih asing dengan ilmu Tahqiq Makhtutat , filologi sebutan canggihnya. Jauh sebelum itu lagi, saya masih curiga dengan pekerjaan semacam itu. Apa soal orang-orang mau sibuk untuk membaca teks kuno yang – bahkan membuat mata kusam – kemudian disalin ulang, dipermak, hingga layak dibaca dengan mudah. Maksudnya, nikmatnya itu di mana? Lalu saya jatuh ke dalam ruang itu tanpa sengaja diajak oleh seorang...

Bentuk Lain Keberkahan Ilmu



Ia memiliki guru yang pernah mengatakan begini kepadanya, "kita diajarkan guru kita untuk tidak hanya membaca kitab-kitab yang pernah dikaji, melainkan juga membaca kitab yang belum pernah kita sentuh sekalipun".

Segala teknik membaca, dalam hal ini kitab kuning, telah paripurna diajarkan. 6 tahun adalah waktu yang tidak sebentar untuk memupuk, menumbuhkan dan membina kemampuan membaca yang ideal, sebagaimana yang sudah diwariskan turun-temurun. Baginya, juga bagi orang-orang yang setolak ukur dengannya, membaca kitab selain kitab yang diajarkan adalah kepastian.

Selain karena keterbatasan daya jelajah dan waktu pada kitab-kitab yang dikaji, juga ada satu dua penyebab kemestian membaca kitab yang tidak diajarkan; pertama, mendukung dan menyokong pemahaman pada kitab-kitab yang dikaji. Cukup banyak masalah-masalah yang termuat dalam kitab yang dikaji yang sering nian begitu perlu mencari pemahaman alternatif, hingga penjelasan lebih. Penjabaran yang lebih jelas, pendudukan masalah, hingga penempatan alasan-alasan suatu masalah banyak dapat ditemukan di kitab-kitab yang tidak dikaji dalam kurikulum.

Kedua, menghidupkan ilmu. Jumhur dayah di Aceh dari satu masa ke masa telah melestarikan 13 cabang ilmu, dengan berjibun kitab di setiap cabangnya. Di balik itu, ada lima hingga delapan cabang ilmu yang hampir tidak disentuh. Jika pun ada, itupun hanya oleh segelintir orang. Kemampuan membaca yang dipupuk dan digembleng oleh guru sedapatnya bisa menolong kita untuk menghidupkan cabang-cabang ilmu yang bahkan tidak diketahui keberadaanya.

Bukan sebuah cela memang tidak begitu meminati disiplin ilmu yang belum dikaji, tetapi teledor dari terus menghidupan dan melestarikan sub-sub ilmu agama adalah kealpaan yang hampir tidak bisa ditolerir. Sebab, salah satu peran orang yang mendakwakan diri sebagai 'pengawal teks' agama ialah melestarikan ilmu agama sepanjang matahari terus keluar dari timur

Sementara kesadara itu becokol lama di alam bawah sadarnya, ia sempat ragu ketika giliran mengajarkan kitab yang bahkan belum pernah disentuhnya sama sekali. Antara tidak menghormati 'jalan' para guru dan merasa terasing dengan ilmu-ilmu yang hampir sekarat ditelan zaman. Menepis syak wa sangka, serta menempatkan praduga baik, ia memulai menyentuh kitab-kitab yang tidak diajarkan, lalu mengajarkannya.

Pikirnya, begitu juga ia limpahkan ke kerabatnya, kemampuan membaca kitab-kitab yang belum dikaji bukanlah kehebatan kita sendiri. Melainkan itu adalah satu dari lain bukti betapa ilmu yang diwariskan dari guru dapat bermanfaat lebih, ilmu itu tidak hanya terkurung dalam lingkungannya sendiri. Itulah salah satu tanda keberkahan ilmu.

Demikian, tulisan ini ia nyatakan sebagai deklarasi pencapaian dan syukur atas kesempurnaan anugerah Tuhan kepada-nya, juga berkah dan doa guru kepada mereka, atas kemauan dan kemampuan untuk mengkhatamkan kitab yang belum pernah dikaji di tempat itu.

Membaca, lalu terbanglah.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membongkar Kebiasaan Kita

Tulisan ini akan menjadi sangat penting bagi pembaca yang masih bergelut dengan dunia pendidikan dayah dan semacamnya yang menggunakan kitab turas (kuning) sebagai bahan ajar.      Saat masih menjadi santri--dalam arti status murid—saya sudah diwanti-wanti oleh guru privat saya untuk tidak berburu-buru dalam belajar (mengaji dan mengulang mandiri) kitab. Pun, ketika hendak berubah status menjadi “guru”, saya diwasiatkan untuk menyiapkan bahan ajar dengan benar, betapa pun bahan ajar itu sudah berulang kali diajarkan. Dan seiring waktu, dengan melihat pengalaman dan pengamalan orang lain, serta bacaan yang kian meluas sedikit demi sedikit, adalah apa yang disampaikan guru saya itu benar adanya.       Kebiasaan yang salah, siapapun pelakunya, tetaplah salah. Kita sepakat akan hal ini. Masalahnya adalah ketika kebiasaan-kebiasaan itu lambat laun akan mengakar dan dari alam bawah sadar akan tercipta keyakinan bahwa kebiasaan itulah satu-satunya jalan yang ...

Ayah yang Bergairah, Untuk Murid yang Taufah

Gambar diambil pada 22 Mei 2022 Terhitung sejak September, dua bulan lebih yang lalu, Ayah di Balee kami menyebutnya, telah berumur 67 tahun. Tidak muda lagi sama sekali. Tujuh tahun beliau telah melewati umur galib, bahkan. Namun, semangatnya masih mampu meruntuhkan ranjau-ranjau dan aral melintang umur. Terhitung sudah sepekan penuh dan lebih dari sebelum tulisan ini ditulis, Ayah kembali mengajar seperti biasa, setelah lebih dari 2 pekan Ayah libur mengajar. Melihat umurnya yang sudah dikategorikan sebagai  syekh  rasanya bukanlah sebuah cela dan aib kalau saja Ayah berhenti atau setidaknya menjeda mengajar dalam beberapa waktu. Namun, tidak. Ayah belum lagi ingin berhenti; dari sejak diizinkan mengajar oleh gurunya, alm Abon Aziz, hingga kini, bahkan hingga malaikat menjemput.  Karakter dan semangat Ayah itu sebenarnya bukanlah hal yang ajaib bagi kalangan kaum sarungan di Aceh. Sebab, mereka paham dan yakin bahwa; sekali mengajar, maka sampai mati pun mengajar. Tak u...

Hibernasi Telah Selesai

Tak kurang 40 hari telah berlalu, menjadi tempo hibernasi bagi kalangan santri. Sebuah ruang waktu kekosongan mengaji yang akan selalu dihasrati oleh mereka. Jika masuk lebih dalam dan lebih jujur, hasrat mereka terhadap hibernasi telah melampaui dari batas normal bagi hakikat penuntut ilmu. Namun, apa boleh buat, begitu sudah tabiat dibentuk oleh lingkungan. Tentu ada banyak hal yang mereka khawatirkan dari habis masa aktif hibernasi; dirampok waktu gembira oleh belajar, ditilap kesempatan scrolling tiktok, dibabat keseruan berlaga para karakter nirnyata. Kekhawatiran itu biasanya akan muncul dalam bentuk, minimalnya, rasa mual dan pusing dalam perjalanan menuju ke Dayah; sebuah perjalanan yang begitu terasa cepat. Kekhawatiran itu dalam sejumlah babak malah diwujudkan dalam bentuk yang mereka lebih tahu. Bagi sebagian mereka, hibernasi tempo hari itu adalah tempo mematikan pikiran ilmiah, hingga tak lagi layak disebut hibernasi. Sebab, pada momen libur, mereka lebih memaknainya se...