Ia memiliki guru
yang pernah mengatakan begini kepadanya, "kita diajarkan guru kita
untuk tidak hanya membaca kitab-kitab yang pernah dikaji, melainkan juga
membaca kitab yang belum pernah kita sentuh sekalipun".
Segala teknik
membaca, dalam hal ini kitab kuning, telah paripurna diajarkan. 6 tahun adalah
waktu yang tidak sebentar untuk memupuk, menumbuhkan dan membina kemampuan
membaca yang ideal, sebagaimana yang sudah diwariskan turun-temurun. Baginya,
juga bagi orang-orang yang setolak ukur dengannya, membaca kitab selain kitab
yang diajarkan adalah kepastian.
Selain karena
keterbatasan daya jelajah dan waktu pada kitab-kitab yang dikaji, juga ada satu
dua penyebab kemestian membaca kitab yang tidak diajarkan; pertama, mendukung
dan menyokong pemahaman pada kitab-kitab yang dikaji. Cukup banyak
masalah-masalah yang termuat dalam kitab yang dikaji yang sering nian begitu
perlu mencari pemahaman alternatif, hingga penjelasan lebih. Penjabaran yang
lebih jelas, pendudukan masalah, hingga penempatan alasan-alasan suatu masalah
banyak dapat ditemukan di kitab-kitab yang tidak dikaji dalam kurikulum.
Kedua,
menghidupkan ilmu. Jumhur dayah di Aceh dari satu masa ke masa telah
melestarikan 13 cabang ilmu, dengan berjibun kitab di setiap cabangnya. Di
balik itu, ada lima hingga delapan cabang ilmu yang hampir tidak disentuh. Jika
pun ada, itupun hanya oleh segelintir orang. Kemampuan membaca yang dipupuk dan
digembleng oleh guru sedapatnya bisa menolong kita untuk menghidupkan
cabang-cabang ilmu yang bahkan tidak diketahui keberadaanya.
Bukan sebuah
cela memang tidak begitu meminati disiplin ilmu yang belum dikaji, tetapi
teledor dari terus menghidupan dan melestarikan sub-sub ilmu agama adalah
kealpaan yang hampir tidak bisa ditolerir. Sebab, salah satu peran orang yang
mendakwakan diri sebagai 'pengawal teks' agama ialah melestarikan ilmu agama
sepanjang matahari terus keluar dari timur
Sementara
kesadara itu becokol lama di alam bawah sadarnya, ia sempat ragu ketika giliran
mengajarkan kitab yang bahkan belum pernah disentuhnya sama sekali. Antara
tidak menghormati 'jalan' para guru dan merasa terasing dengan ilmu-ilmu yang
hampir sekarat ditelan zaman. Menepis syak wa sangka, serta menempatkan praduga
baik, ia memulai menyentuh kitab-kitab yang tidak diajarkan, lalu
mengajarkannya.
Pikirnya, begitu
juga ia limpahkan ke kerabatnya, kemampuan membaca kitab-kitab yang belum
dikaji bukanlah kehebatan kita sendiri. Melainkan itu adalah satu dari lain
bukti betapa ilmu yang diwariskan dari guru dapat bermanfaat lebih, ilmu itu
tidak hanya terkurung dalam lingkungannya sendiri. Itulah salah satu tanda keberkahan
ilmu.
Demikian, tulisan
ini ia nyatakan sebagai deklarasi pencapaian dan syukur atas kesempurnaan
anugerah Tuhan kepada-nya, juga berkah dan doa guru kepada mereka, atas kemauan
dan kemampuan untuk mengkhatamkan kitab yang belum pernah dikaji di tempat itu.
Membaca, lalu
terbanglah.
Komentar
Posting Komentar