Dunia sudah cukup sibuk dan ribut. Notifikasi bertalian datang; langganan kanal Youtube , kanal Telegram , grup-grup saling bersahutan, promo toko oranye dan hijau, dan pesan-pesan diskusi berkedok rindu. Mode senyap tak bisa membendung notifikasi itu, sebab ia makin nyaring dalam senyap. Karena itulah salah satunya, orang-orang memilih bersemedi dan mengucilkan diri dalam ruang kasatmata. Sebagian memilih untuk tenggelam dalam bacaan, sebagian lagi dalam perenungan, dan saya memilih manuskrip sebagai salah satu ma’bad , tempat ibadah intelektual saya. Setahun yang lalu, lebih kurang, saya masih asing dengan ilmu Tahqiq Makhtutat , filologi sebutan canggihnya. Jauh sebelum itu lagi, saya masih curiga dengan pekerjaan semacam itu. Apa soal orang-orang mau sibuk untuk membaca teks kuno yang – bahkan membuat mata kusam – kemudian disalin ulang, dipermak, hingga layak dibaca dengan mudah. Maksudnya, nikmatnya itu di mana? Lalu saya jatuh ke dalam ruang itu tanpa sengaja diajak oleh seorang...
Makin ke sini orang-orang makin mudah memanipulasi sesamanya berkat tekhnologi. Atau boleh juga dikatakan begitu mudah terpapar dengan duga-dugaan buruk nan lemah. Tidak lain sumbernya dari tong media sosial. Tempat di mana sampah-sampah bersarang. Dengan hanya memiliki sekelumit kabar dan informasi, sudah cukup menduga sekehendak hatinya. Sepantasnya berkelana di media sosial, melihat timeline Twitter, Instagram dan kawan-kawannya tidak berbeda kaedahnya dengan berinteraksi dalam dunia nyata. Bahkan, sekian dari etika-etika terpuji dalam kehidupan nyata tidak boleh tidak juga diwujudkan dalam berselancar di dunia nir-nyata. Pasalnya, meninggalkan etika-etika positif itu ujungnya akan menjatuhkan pengguna dalam kegelapan hati, prasangka murahan dan akibat buruk lainnya. Tak ayal, ada ulama secara khusus mengarang kitab yang membahas etika berinteraksi di dunia nir-nyata. Sebut saja salah satunya, buah pena Ali Muhammad Syauqi dengan tajuk " Alfisbuk. Adabuhu Wa Ahkamuhu ...