Dunia sudah cukup sibuk dan ribut. Notifikasi bertalian datang; langganan kanal Youtube , kanal Telegram , grup-grup saling bersahutan, promo toko oranye dan hijau, dan pesan-pesan diskusi berkedok rindu. Mode senyap tak bisa membendung notifikasi itu, sebab ia makin nyaring dalam senyap. Karena itulah salah satunya, orang-orang memilih bersemedi dan mengucilkan diri dalam ruang kasatmata. Sebagian memilih untuk tenggelam dalam bacaan, sebagian lagi dalam perenungan, dan saya memilih manuskrip sebagai salah satu ma’bad , tempat ibadah intelektual saya. Setahun yang lalu, lebih kurang, saya masih asing dengan ilmu Tahqiq Makhtutat , filologi sebutan canggihnya. Jauh sebelum itu lagi, saya masih curiga dengan pekerjaan semacam itu. Apa soal orang-orang mau sibuk untuk membaca teks kuno yang – bahkan membuat mata kusam – kemudian disalin ulang, dipermak, hingga layak dibaca dengan mudah. Maksudnya, nikmatnya itu di mana? Lalu saya jatuh ke dalam ruang itu tanpa sengaja diajak oleh seorang...
Saya berada dalam barisan orang-orang yang percaya bahwa menjadi santri adalah pilihan dan bakat-bakat selain keilmuan agama juga perlu dikembangkan sedemikian rupa, sebagaimana zaman berkembang. Menulis—lebih khusus lagi saya menyebutnya sebagai pembumian pesan-pesan turats— dan mengedit tulisan adalah di antara bakat yang mesti dioptimalkan oleh orang-orang yang mau. Paruh awal tahun ini saya dikejutkan oleh hal-hal yang tidak biasa. Seorang dosen Ma’had Aly samalanga meminta saya untuk mengedit dan mengoreksi karyanya. Saya meminta waktu berpikir. Pikir saya, pertama, kemampuan editing belumlah lagi mapan. Pengalaman editing tidak sementereng editor-editor buku lainnya. Belum lagi perbendaharaan kaidah bahasa Indonesia yang tidak lengkap, serta tidak pernah mengikuti workshop atau kelas editing, macam orang-orang lakukan. Kalau saya menerima tawaran ini, hanya ada dua kemungkinan: melelahkan diri sendiri, atau berakibat buruk pada karya orang lain. Kedua, kali ini cara berpiki...