Langsung ke konten utama

Dunia Pengalihan: Manuskrip

Dunia sudah cukup sibuk dan ribut. Notifikasi bertalian datang; langganan kanal Youtube , kanal Telegram , grup-grup saling bersahutan, promo toko oranye dan hijau, dan pesan-pesan diskusi berkedok rindu. Mode senyap tak bisa membendung notifikasi itu, sebab ia makin nyaring dalam senyap. Karena itulah salah satunya, orang-orang memilih bersemedi dan mengucilkan diri dalam ruang kasatmata. Sebagian memilih untuk tenggelam dalam bacaan, sebagian lagi dalam perenungan, dan saya memilih manuskrip sebagai salah satu ma’bad , tempat ibadah intelektual saya. Setahun yang lalu, lebih kurang, saya masih asing dengan ilmu Tahqiq Makhtutat , filologi sebutan canggihnya. Jauh sebelum itu lagi, saya masih curiga dengan pekerjaan semacam itu. Apa soal orang-orang mau sibuk untuk membaca teks kuno yang – bahkan membuat mata kusam – kemudian disalin ulang, dipermak, hingga layak dibaca dengan mudah. Maksudnya, nikmatnya itu di mana? Lalu saya jatuh ke dalam ruang itu tanpa sengaja diajak oleh seorang...

Agar Wadah Kita Luas


Agama Islam secara terang-terangan menyuruh pemeluknya untuk menuntut ilmu. Hal ini tak terkecuali bagi siapapun. Karena hal itu titah agama maka ia tak lepas dari tujuan. Tujuan dari menuntut ilmu antara lain agar lenyap kebodohan, tahu mana yang benar dan salah. Dan yang paling esensial adalah agar "wadah" kita luas. 

Tujuan yang terakhirlah yang patut dianggap penting dewasa ini. Meski dari lenyapnya kebodohan keluasan wadah akan luas dengan sendirinya juga. Namun, masalahnya, betapa dari kita yang agaknya sudah lenyap kebodohan, tapi masih saja wadahnya kurang luas. 
Ah, iya, saya hampir lupa memaknai "wadah". Maksudnya adalah alam pikiran atau khazanah keilmuan. Karena, begitu seseorang sudah luas wadahnya maka apapun bisa masuk dalam pikirannya. Orang itu akan tidak mudah kaget dan terkejut dengan perbedaan yang ia dengar karena ia dapat memakluminya.

Bukan tanpa alasan saya menulis masalah ini. Adalah kenyataan mengungkapkan bahwa sebagian dari kita hampir menutup diri untuk terus belajar dengan menduga sudah memadai dengan ilmu yang ada. Padahal pada saat yang sama, secara tidak langsung, kita sudah kembali menjadi bodoh, lebih dari kebodohan yang ada pada waktu semula. Sehingga, ketika mendengar perbedaan kontan saja kita kaget, marah, mengamuk, dan parahnya memberi orang lain hak masuk neraka. 

Ketika wadah sudah luas, segala perbedaan gagasan dapat kita maklumi. Kita sudah tau bahwa orang lain berpendapat begini itu karena melihat dalil ini. Intinya, kita dapat memaklumi perbedaan-perbedaan yang bersebelahan dengan kita. Memaklumi disini tentu berbeda dengan mengakui dan mengikuti perbedaan tersebut. Sebab tidak harus saat memakluminya kita mengakui dan mengikutinya. Bahkan dalam prakteknya, tidak menutup kemungkinan bagi kita untuk mengajak yang bersebelahan untuk melihat pandangan kita atau sebaliknya.

Jadi, saya memohon pada diri sendiri dan handai taulan untuk tidak meninggalkan belajar sama sekali. Sebab, orang yang sejahtera akalnya menandaskan, bahwa tidak ada batasan untuk belajar. Apalagi bila merujuk Quran dan Hadist, sudah pasti tidak ditemukan adanya pembatasan untuk belajar. Tentu belajar yang saya maksudkan adalah belajar sebenarnya. Bukan belajar pada Kyai Google, bukan berguru pada yutub, dan sebagainya.

Belajarlah, agar wadah mu tidak kekecilan sekecil gelas kopi.

Tabik.


Komentar

  1. Sangat bermanfaat, "terlepas dari belajar tentu kita kaum manusia selalu terjerumus dalam setiap problema kehidupan"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih.
      Semoga bila sudah terjerumus dan tau sudah terjerumus agar ke depannya tidak jatuh dalam lubang yang sama selalu. Bila pun jatuh, semoga terjerumus dalam lubang problema yang lain.
      Begitu kira-kira🙏

      Hapus
  2. semaki banyak pengetahuan yang kita tau semaki luas pula wawasan yang akan kita ketahui👍

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membongkar Kebiasaan Kita

Tulisan ini akan menjadi sangat penting bagi pembaca yang masih bergelut dengan dunia pendidikan dayah dan semacamnya yang menggunakan kitab turas (kuning) sebagai bahan ajar.      Saat masih menjadi santri--dalam arti status murid—saya sudah diwanti-wanti oleh guru privat saya untuk tidak berburu-buru dalam belajar (mengaji dan mengulang mandiri) kitab. Pun, ketika hendak berubah status menjadi “guru”, saya diwasiatkan untuk menyiapkan bahan ajar dengan benar, betapa pun bahan ajar itu sudah berulang kali diajarkan. Dan seiring waktu, dengan melihat pengalaman dan pengamalan orang lain, serta bacaan yang kian meluas sedikit demi sedikit, adalah apa yang disampaikan guru saya itu benar adanya.       Kebiasaan yang salah, siapapun pelakunya, tetaplah salah. Kita sepakat akan hal ini. Masalahnya adalah ketika kebiasaan-kebiasaan itu lambat laun akan mengakar dan dari alam bawah sadar akan tercipta keyakinan bahwa kebiasaan itulah satu-satunya jalan yang ...

Ayah yang Bergairah, Untuk Murid yang Taufah

Gambar diambil pada 22 Mei 2022 Terhitung sejak September, dua bulan lebih yang lalu, Ayah di Balee kami menyebutnya, telah berumur 67 tahun. Tidak muda lagi sama sekali. Tujuh tahun beliau telah melewati umur galib, bahkan. Namun, semangatnya masih mampu meruntuhkan ranjau-ranjau dan aral melintang umur. Terhitung sudah sepekan penuh dan lebih dari sebelum tulisan ini ditulis, Ayah kembali mengajar seperti biasa, setelah lebih dari 2 pekan Ayah libur mengajar. Melihat umurnya yang sudah dikategorikan sebagai  syekh  rasanya bukanlah sebuah cela dan aib kalau saja Ayah berhenti atau setidaknya menjeda mengajar dalam beberapa waktu. Namun, tidak. Ayah belum lagi ingin berhenti; dari sejak diizinkan mengajar oleh gurunya, alm Abon Aziz, hingga kini, bahkan hingga malaikat menjemput.  Karakter dan semangat Ayah itu sebenarnya bukanlah hal yang ajaib bagi kalangan kaum sarungan di Aceh. Sebab, mereka paham dan yakin bahwa; sekali mengajar, maka sampai mati pun mengajar. Tak u...

Hibernasi Telah Selesai

Tak kurang 40 hari telah berlalu, menjadi tempo hibernasi bagi kalangan santri. Sebuah ruang waktu kekosongan mengaji yang akan selalu dihasrati oleh mereka. Jika masuk lebih dalam dan lebih jujur, hasrat mereka terhadap hibernasi telah melampaui dari batas normal bagi hakikat penuntut ilmu. Namun, apa boleh buat, begitu sudah tabiat dibentuk oleh lingkungan. Tentu ada banyak hal yang mereka khawatirkan dari habis masa aktif hibernasi; dirampok waktu gembira oleh belajar, ditilap kesempatan scrolling tiktok, dibabat keseruan berlaga para karakter nirnyata. Kekhawatiran itu biasanya akan muncul dalam bentuk, minimalnya, rasa mual dan pusing dalam perjalanan menuju ke Dayah; sebuah perjalanan yang begitu terasa cepat. Kekhawatiran itu dalam sejumlah babak malah diwujudkan dalam bentuk yang mereka lebih tahu. Bagi sebagian mereka, hibernasi tempo hari itu adalah tempo mematikan pikiran ilmiah, hingga tak lagi layak disebut hibernasi. Sebab, pada momen libur, mereka lebih memaknainya se...