Dunia sudah cukup sibuk dan ribut. Notifikasi bertalian datang; langganan kanal Youtube , kanal Telegram , grup-grup saling bersahutan, promo toko oranye dan hijau, dan pesan-pesan diskusi berkedok rindu. Mode senyap tak bisa membendung notifikasi itu, sebab ia makin nyaring dalam senyap. Karena itulah salah satunya, orang-orang memilih bersemedi dan mengucilkan diri dalam ruang kasatmata. Sebagian memilih untuk tenggelam dalam bacaan, sebagian lagi dalam perenungan, dan saya memilih manuskrip sebagai salah satu ma’bad , tempat ibadah intelektual saya. Setahun yang lalu, lebih kurang, saya masih asing dengan ilmu Tahqiq Makhtutat , filologi sebutan canggihnya. Jauh sebelum itu lagi, saya masih curiga dengan pekerjaan semacam itu. Apa soal orang-orang mau sibuk untuk membaca teks kuno yang – bahkan membuat mata kusam – kemudian disalin ulang, dipermak, hingga layak dibaca dengan mudah. Maksudnya, nikmatnya itu di mana? Lalu saya jatuh ke dalam ruang itu tanpa sengaja diajak oleh seorang...
· Cinta Manusia kepada Allah Setelah cukup paham cinta Allah kepada manusia dengan dua jenisnya; rabbany dan kasby , tiba juga pada kesempatan memahami “membalas” cinta Allah. Tepatnya bagaimana manusia mencintai Allah. Dan adakah cinta ini layaknya cinta Allah kepada manusia dengan dua jenisnya? Untuk ini mari barengan kita mengeja kelanjutan hidangan Syaikh Said Ramadhan al-Buthi. Sebelum melaju lebih ke depan perlu rasanya untuk memastikan bahwa makna cinta di sini tetap sebagaimana yang telah diurai pada pendahuluan. Dalam arti memang cinta manusia kepada Allah adalah terpaut hati manusia dengan pencipta. Dengan ini dapat dimafhumi—sebagaimana pada pendahuluan—perbedaan terang antara cinta Allah kepada manusia dengan cinta manusia kepada Allah. Dengan perbedaan pada maknanya ini berbeda pula penjelmaan makna cinta Allah kepada manusia; melalui pemuliaanNya kepada manusia; dan kebersamaan Allah beserta manusia yang dicintaiNya. Sedangk...