Dunia sudah cukup sibuk dan ribut. Notifikasi bertalian datang; langganan kanal Youtube , kanal Telegram , grup-grup saling bersahutan, promo toko oranye dan hijau, dan pesan-pesan diskusi berkedok rindu. Mode senyap tak bisa membendung notifikasi itu, sebab ia makin nyaring dalam senyap. Karena itulah salah satunya, orang-orang memilih bersemedi dan mengucilkan diri dalam ruang kasatmata. Sebagian memilih untuk tenggelam dalam bacaan, sebagian lagi dalam perenungan, dan saya memilih manuskrip sebagai salah satu ma’bad , tempat ibadah intelektual saya. Setahun yang lalu, lebih kurang, saya masih asing dengan ilmu Tahqiq Makhtutat , filologi sebutan canggihnya. Jauh sebelum itu lagi, saya masih curiga dengan pekerjaan semacam itu. Apa soal orang-orang mau sibuk untuk membaca teks kuno yang – bahkan membuat mata kusam – kemudian disalin ulang, dipermak, hingga layak dibaca dengan mudah. Maksudnya, nikmatnya itu di mana? Lalu saya jatuh ke dalam ruang itu tanpa sengaja diajak oleh seorang...
Selamat malam, Baginda. Baginda apa kabar? Semoga senantiasa Allah limpahkan salawat dan salam kepadamu, Baginda. Malam ini, katanya, malam yang lebih kau cintai dari pada malam-malam yang lain. Katanya, malam ini engkau duduk bersahaja, menunggu umatmu mengungkapkan cintanya yang bertalu-talu kepadamu. Katanya juga, malam ini engkau begitu menyintai umatmu yang ikhlas bersalawat kepadamu. Pun, katanya, sesiapa yang mengucapkan shalawat kepadamu sekali maka ia berhak mendapat balasan sepuluh kali. Berbahagialah mereka. Atas semua katanya itu, aku belum mampu, Baginda. Atas semua katanya itu dan yang lain, aku belum mencintaimu sepenuhnya, Baginda. Apatah makna cintaku padamu ini, Ya Baginda. Padahal aku hanya mampu mencemburui umatmu yang nyata tak tersangkal cintanya padamu. Apatah guna ungkapan cintaku padamu yang beriringan dengan mengkhianatimu. Sungguh, aku pencinta terbusuk. Untuk sekarang, aku hanya punya cemburu. Cukupkah itu, Ya Rasul?...